Kamis, 22 Januari 2009

Bersiap

Sewaktu SMA dulu, saya pernah punya azzam (tekad) untuk menikah dalam usia muda. Semangat empat lima nya waktu itu adalah karena yakin bahwa rezeki semua ditanggung oleh Allah SWT. Azzam itu ternyata harus bersembunyi sementara waktu karena mungkin orang tua belum percaya kalau permintaan saya itu serius.

Saya menuliskan dalam sebuah lembar kertas, bahwa saya akan menikah semester empat. Dan selalu, pertanyaan apakah deklarasi itu sudah menjadi kenyataan atau masih tetap tersimpan dalam lembar kertas dilotarkan ketika saya bertemu dengan teman - teman dekat yang pernah mendengar deklarasi saya untuk menikah muda. Dan jawaban saya hanya sebuah senyuman yang menandakan saya masih tetap bujang 100%.

Satu demi satu justeru teman - teman yang tidak pernah mendeklarasikan menikah muda mengirimkan undangan pernikahanya. Mereka yang menikah justeru bukan dari kalangan aktivis dakwah yang sering melempar isu pernikahan dini. Dan satu demi satu, cerita dari mulut ke mulut soal kedekatan saya dengan seorang wanita hanya menjadi bahan guyonan teman - teman. Dan satu demi satu saya menjawab setiap fitnah yang hinggap dalam kehidupan saya soal teman dekat yang satu ini dengan fakta bahwa yang digosipin dengan saya justeru menikah dengan yang lain.

Rupanya soal menikah itu memang bukan sekedar soal azzam. Tapi soal pembuktian bahwa kita benar - benar mempersiapkan diri secara serius untuk memasukinya. Jadi ada titik temu antara kemauan dan kemampuan.

Waktu terus bergulir dan saya selalu berdoa agar Allah memberikan jalan kepada saya untuk menghimpun kemauan dan kemampuan sehingga menjadi genap dien saya. Jujur saja, ternyata buat saya menghimpun kemauan dan kemampuan ini bukan perkara yang mudah semudah saya membicarakanya.

Teman - teman saya kadang menilai bahwa saya sudah memiliki kecukupan syarat untuk memasuki gerbang pernikahan. Lulus sudah, penghasilan ada meskipun pekerjaan tidak tetap, ikut kelompok pengajian juga udah bertahun - tahun dan muka juga alhamdulillah ga jelek - jelek amat (Setidaknya pernah ada yang menyampaikan demikian).

Namun penilaian orang lain tidaklah sepenting penilaian dari kita terhadap diri kita sendiri. Karena yang akan menikah adalah diri kita sendiri dan bukan orang lain. Rasa percaya diri. Mungkin inilah virus dibanyak para aktivis. Singa jalanan bisa menjadi kucing jika dihadapkan dengan kesiapan untuk menikah. Saya mungkin orang yang lumayan sering jadi narasumber untuk memotivasi teman - teman, untuk berorasi atau untuk presentasi. Tapi ternyata menikah adalah keputusan besar. Karenanya butuh keberanian besar.

Dan titik keberanian itu terkuak di suatu malam. Saat saya telah menjalani kuliah pasca sarjana saya dan bukan di semester empat sebagaimana harapan ketika sekolah dulu. Saat saya telah menelan banyak sekali dorongan untuk menikah. Bukan murni dorongan diri sendiri. Meskipun pada akhirnya keputusan itu ada ditangan diri kita sendiri.

 

blogger templates | Make Money Online