Senin, 21 Juli 2008

Berjalan ke timur (3)

Saya bangun tidur dengan terkejut. Keletihan dalam perjalanan membuat badan terbuai diatas kasur nan empuk. Adzan Ashar telah berkumandang beberapa saat yang lalu. Dik Puji telah siap dengan jemputanya. Waktunya untuk mengisi sesi pertama tentang realitas ummat.

Hanya butuh beberapa menit saja dari rumahnya Fikri untuk sampai di lokasi acara yang terletak di aula SMA 2 Kediri. Gambaran saya mengenai kondisi tempat acara meleset beberapa derajat dari yang saya bayangkan. Lantainya berdebu, tidak ada hiasan di dinding, tidak ada backdrop dan posisi peserta juga menghadap jendela yang cahayanya penuh bahkan mungkin berlebih. Semoga aja mata mereka tidak cepat kelelahan.

Perlengkapan acara juga tidak jauh berbeda nasibnya dengan tempat acara. LCD baru dinyalakan. Sound juga terus merengek. Saya juga tidak melihat papan tulis didepan peserta.

Saya terus mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kaca – kaca sudah banyak yang pecah, langit – langit juga terlihat tidak ramah. Dan saya senang sekaligus sedih melihat kondisi para peserta. Senang karena masih banyak yang penampilanya belum berjilbab rapih yang menandakan proses dakwah sedang berlangsung. Sedih karena jumlah peserta putra kurang dari sepuluh orang. Nyaris kembar dengan berbagai organisasi dakwah yang saya ikuti.

Saya juga mengintip alas kaki yang mereka pakai mulai dri senda jepit sampai sendal biasa. Mengintip juga posisi duduk mereka sehingga saya bisa meraba suasana hati mereka. Hal ini biasa saya lakukan untuk mencari jalan masuk yang tepat untuk menyapa mereka.

Setelah cukup membaca situasi, saya memulai sesi pertama. Perkenalan tentu saja menjadi menu wajib.

Sedikit demi sedikit saya mencoba mengarahkan alur berpikir para peserta. Saya ingin mengajak mereka kepada kehidupan nyata disekitar mereka. Bukan dunia remaja yang selalu digambarkan sangat gembira. Saya ingin membawa mereka kedalam kehidupan dimana mereka menyadari bahwa dunia tidaklah sedang baik - baik saja. Ada panggilan perjuangan dihadapan mereka sehingga mereka - dan juga saya, mampu menghargai kehidupan lebih baik. Menyadarkan kami semua bahwa ada pekerjaan besar yang harus dilakukan. Dan misi saya adalah membagi perasaan berbahagia dalam dunia pergerakan.

Tidak mudah memang. Ibarat membawa seseorang dari ruangan yang terang benderang kedalam ruangan yang gelap gulita. atau sebaliknya, dari ruangan yang terang benderang kedalam ruangan yang gelap gulita. Butuh penyesuaian beberapa waktu.

Setelah mereka mulai melihat keadaan lingkungan mereka sebenarnya, saya mengajak mereka untuk bekerjasama. Saling mengisi dan saling menguatkan. Berdiri dalam satu barisan yang kokoh. Tentu saja ini pun membutuhkan proses. Butuh waktu untuk menyatukan mereka semua. Menyadarkan bahwa harus ada ruang yang disisakan untuk diisi bersama disamping ruang pribadi yang memang secara khusus dimiliki oleh manusia. Saya mencoba memisahkan para peserta yang sejak awal selalu duduk berdekatan. Hal ini saya lakukan agar mereka, mau tidak mau, mencari teman yang lain. Ada banyak kombinasi yang saya lakukan, misalnya menyatukan peserta yang sama - sama memiliki karakter pemimpin, menyatukan yang terlihat saling menjauhi, menyatukan yang pendiam dengan yang ramai dan seterusnya.

Sangat menyenangkan melihat mereka berproses untuk saling mengenal dan saling mengisi. Saling menyisihkan egoisme masing - masing untuk kemudian saling bekerjasama. Saya pun berusaha memancing keluar bakat - bakat kepemimpinan yang terpendam di beberapa peserta. Saya ingin mereka semua menemukan hal - hal positif didalam dirinya yang dapat diberikan bagi proyek besar mereka. Tidak boleh ada yang minder. Tidak ada yang boleh merasa dirinya tidak bermanfaat.

Pelatihan telah berlalu selama dua hari. Ini adalah hari terakhir saya membersamai mereka. Saya melihat sudah ada perubahan yang mereka lakukan. Mereka kini telah duduk rapih sebelum materi dimulai. Ruangan pun lebih bersih. Mereka kini lebih cekatan. Lebih berbaur. Lebih kompak dan semoga lebih berbahagia dibanding sebelumnya. Bukan karena saya, tapi mudah - mudahan karena mereka telah menemukan diri mereka.

Terakhir saya mencoba membawa mereka untuk menikmati kehidupan ini. Mensyukuri setiap kenikmatan yang telah Allah berikan. Saat saya membacakan surat bunda kepada anaknya, beberapa peserta mulai sesenggukan karena menangis. Dan saya terus memberikan renungan, bukan untuk mereka. Tapi untuk diri saya sendiri. ...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jazzakallah akh atas evaluasi acara Akida. Semoga untuk kegiatan kedepan kami menjadi lebih baik lagi. Amiin.

 

blogger templates | Make Money Online