Kesederhanaan adalah sikap untuk menempatkan diri sesuai pada tempatnya. Berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhanya. Kesederhanaan bukan menyerah pada keadaan tetapi juga bukan mengada – ada hingga kita terjerumus pada keputusasaan. Kesederhanaan adalah bersikap adil. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Menghidupkan ajaran kesederhanaan berarti menegakkan keadilan.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW menjalani kehidupanya sebagai raja dari wilayah islam yang begitu luas dan menutup kehidupanya hanya dengan menyisakan beberapa dirham saja. Sebuah grup nasyid merekam kehidupanya dalam syairnya:
Pernahkah engkau renungkan tentang
Hidup rasulullah sang junjungan
Rela hidup dalam kesederhanaan
Pertahankan kehormatan
Lewati malam – malam yang kelam
Dalam keadaan lapar
Bersama segenap keluarganya
Tak dapatkan satupun makanan
Bahkan tak pernah menikmatinya
Dari atas meja
Tidur beralaskan tikar kasar
Terbuat dari kulit rerumputan
Hingga membekas pada punggungnya
Tak pernah kenyang didalam hidupnya
Bahkan pernah tiga purnama
Tiada api menyala dirumahnya
................................................
(Suara Persaudaraan, zuhud I)
Ramadhan menyegarkan kembali ingatan hati dan pikiran kita akan sebuah nilai luhur bernama kesederhaan. Saat kesederhanaan dihidupkan kembali lewat ajaran langit untuk menahan diri dari hawa nafsu sepanjang hari. Menahan lapar dan dahaga ditengah harinya. Menegakkan shalat tharawih dimalam harinya. Menelusuri perasaan sebagian dari kita yang hari – harinya dijalani dengan perut lapar dan haus karena fakir. Meringankan hati kita untuk memberi dan berbagi kasih dan sayang. Menghadapkan diri kita sebagai hamba yang sama dihadapan penguasa semesta.
Sebagai sebuah negara, kebersamaan kita telah memasuki usia yang ke 63 sejak 17 Agustus yang lalu. Berusia 63 tahun juga jika menggunakan penanggalan islam karena kita baru saja melewati ramadhan, bulan dimana proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.
Kebersamaan kita, telah melewati berbagai ujian mulai dari agresi militer, rongrongan kedaulatan, rezim otoritarianisme hingga tempaan krisis ekonomi yang melahirkan berbagai kerusuhan di ibukota maupun didaerah.
Kita tidak akan pernah menyesali reformasi yang telah membuka berbagai sumbatan untuk menjadi bangsa yang besar. Kita tidak akan pernah menyesali keruntuhan rezim orde baru yang memasung energi kreatif kita. Yang akan kita sesali adalah saat reformasi menjadikan kita lupa diri dan lupa sesama. Lupa akan ajaran kesederhanaan yang menghadirkan sikap toleransi, saling menghormati, ramah dan penuh welas asih. Kesederhanaan yang melahirkan solidaritas kita sebagai anak bangsa.
Nilai kesederhanaan kini banyak yang telah pergi dari tengah – tengah kita. Dan kelak jika ia kembali pulang, maka ia menjelma bak oase ditengah gurun sahara. Kan menjadi penyejuk ditengah kegersangan atas kebersamaan yang telah kita jalin dan kita pintal sekian lama. Saat kekayaan dan kemiskinan berada pada dua sisi yang saling berjauhan. Saat empati terselimuti kabut – kabut keegoan diri.
Kita membutuhkan kesederhanaan sebagai jembatan yang menghubungan antara si kaya dan si miskin. Antara pejabat dan rakyat biasa. Antara orang pintar dan orang bodoh.
Harus ada upaya untuk terus mengeja kesederhanaan dalam keseharian kita. Memastikan bahwa kepekaan kita tidak tumpul dan berkarat. Setiap kita. Tak peduli apakah kita seorang pejabat atau rakyat biasa. Tak peduli saat ini kita kaya atau miskin. Tak peduli kita sedang mewakili atau sedang diwakili diparlemen.
Mengeja kesederhanaan adalah keharusan bagi setiap orang. Bagi yang saat ini berada dalam kejayaan, kesederhanaan akan menjadi pengingat dirinya untuk tidak semena – mena dan menginjak – injak yang ada dibawahnya. Bagi yang saat ini berada dibawah, kesederhanaan diperlukan untuk menghidupkan harapan dan tidak mengumbar kedengkian.
Bagi seorang pemimpin, dia harus memastikan semua yang dipimpinya mampu mengeja kesederhanaan. Lihatlah bagaimana Umar bin Khatab saat menjadi pemimpin puncak dari sebuah negara islam yang besar. Dia menghukum gubernurnya yang bertugas di Hamash dengan menyuruhnya berpakaian seperti penggembala dan menyuruhnya menjadi penggembala domba untuk beberapa waktu karena sang gubernur tersebut membangun sebuah rumah mewah. Lalu akan berapa banyakah penggembala – penggembala domba dadakan jika sosok seperti Umar menjadi presiden di negeri ini.
Bagi seorang bawahan, kesederhanaan diperlukan untuk terus menjadi bara perjuangan meski godaan kedengkian kepada atasan senantiasa dihembuskan. Terus bekerja melakukan perbaikan – perbaikan.
Kesederhanaan kita pada akhirnya akan menjadi perekat satu sama lain. Bak sebatang pohon yang terus bertautan dari akar hingga ujung dahan dan buahnya. Sebuah pohon berasal dari biji yang satu. Kemudian dari biji itu ada yang menjalar kebawah menjadi akar. Terus mensuplai berbagai nutrisi meski tak terlihat dari mata manusia. Adapula yang menjulang keatas menjadi batang, ranting, daun dan buah. Yang menjulang keatas tampak oleh mata, di puji dan dikagumi. Tapi semua tumbuh satu sama lain dengan penuh kesederhanaan. Tidak ada kedengkian dari akar. Tidak pula ada pamer kesombongan dari yang diatasnya.
Masih ada bulan – bulan yang harus kita lalui. Bulan - bulan yang akan menguji simpul – simpul kebersamaan kita. Sebagai ummat. Sebagai sebuah bangsa. Sebagai sebuah negara. Sebagai sesama anak bangsa.
Mari kita mengeja lagi kesederhanaan. Menata ulang kebersamaan kita agar tidak terberai ditengah jalan. Agar berjalan beriringan antara pemimpin dan bawahan. Antara si kaya dan si miskin. Antara pejabat dan rakyat. Jangan biarkan hawa nafsu dan ego diri menumpulkan kepekaan. Jangan biarkan pula kedengkian dan kelemahan mematikan harapan. Kesederhanaan akan membuka jalan kejayaan dan kebesaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar