Selasa, 19 Februari 2008

Diary Cahaya

Indonesia, 1980 an

Aku angin. Berkelana , berhembus, menari, meliuk diantara dimensi ruang dan waktu. Inilah aku dinegeri dengan berjuta pesona. Oh..kasihan rakyat negeri ini, terjebak dalam kejahiliyahan. Masjid kering. Mushaf terbujur di almari.

Masih ditahun 1980 an

Satu dua cahaya mulai mengembang. Aku mendekat. Rupanya Dustur mulai hidup. Aku menangis entah karena apa…”ana uhibbukum fillah” sebuah cahaya berujar. Aku cemburu.

Medio 1980 an

Cahaya mulai membiak. Satu..dua..tiga..empat..…entah berapa aku tak tahu pasti. Cahaya tampak pada pemuda bersahaja. Jenggotnya tipis menggelayut riang disebuah dagu dengan bibir yang selalu basah, memerah ranum dengan dzikir. Cahaya juga tampak pada perempuan tegar yang menutup rapat seluruh auratnya. Menjaga harga dirinya dari kehinaan. Cahaya-cahaya masih berada dilorong pekat.

1990 an

Cahaya mulai dianggap asing. Setelah sebelumnya dianggap tiada. Ia mengusik ketentraman kegelapan. Satu cahaya harus dikeluarkan dari tempat dimana ia menuntut ilmu. Ia berontak, bangkit. Lalu berikutnya selalu ada Cahaya yang ingin dipadamkan. Satu tahun..dua tahun..tiga tahun…Cahaya terus memperjuangkan keyakinannya. Sebuah pelajaran dari sang Nabi.

Cahaya-cahaya mulai berhimpun. Merajut tekad menyirnakan kegelapan negeri. Sepuluh tahun, begitu tekad mereka! Al Quran dan Sunnah menemani setiap langkah. Mereka tampak akrab. Siapapun yang hidup hatinya, pasti iri dengan kemesraan mereka.

Juli 1997

Badai moneter menyerang negeri ini. Aku berkelana dari Aceh hingga Merauke. Banyak tarian kelaparan dan tangis kepedihan. Sempurnalah orkestra kemiskinan dengan syair keputus asaannya. Cahaya-cahaya diam, namun kilaunya semakin terang. Ah rupanya mereka sedang mengadu pada RabbNya. Masya Allah, air mata itu begitu indah. Kembali Aku iri…

Akhir 1997

Aku melihat cahaya itu berkerumunan dijalanan. Aku mendekat penasaran. Mereka sedang menyuarakan suara rakyat. Dimana pemerintah?

Awal 1998

Cahaya masih akrab dengan jalanan. Jumlah sudah lebih banyak. Mmm…ini yang kusenangi, mereka masih memegang Al Quran.

April 1998

Aku mendatangi kerumunan Cahaya disebuah kota, sejuk dan damai. Cahaya-cahaya berkilatan mengeluarkan gagasannya. Cahaya berhimpun dalam telaga. Cahaya makin lantang. Al Qur’an masih ditangan. Cahaya tidak takut mati. Cahaya bersemangat memenuhi seruan perjuangan. Cahaya penuhi pengorbanan. Cahaya tapaki hakikat berjuang. Setetes dua tetes darah tak seberapa. Rupiah demi rupiah entah sudah berapa. Duhai Ar Rahman..aku tahu mereka membutuhkan rupiah itu, dan Engkau lebih tahu.. Beberapa cahaya mulai dikeluarkan dari kampus mereka. Mereka tetap damai dalam pelukan persaudaraan yang erat. Satu cahaya terdzalimu, beribu tangan dan hati menawarkan sandaran.

21 Mei 1998

Cahaya bersimpuh. Satu rintangan telah terlewati. Al Quran masih ditangan. Cahaya masih menggelora. Perjuangan belum usai…

Sepanjang 1998

Hari-hari cahaya adalah hari-hari aksi. Biarlah tahun ini menjadi tahun pengorbanan, begitu kira-kira yang ada dibenak Cahaya. Cahaya berjalan puluhan kilo untuk aksi. Cahaya menyusuri ratusan kilo untuk mengaji. Cahaya bersahabat dengan jutaan detik dan jarak untuk memenuhi forum-forum diskusi.

Cahaya tergeletak bersimbah darah. Cahaya berbalut perban. Tapi cahaya terus bergerak. Cahaya oh cahaya…dimana sembunyinya kelelahanmu..?

Cahaya masih lekat dengan Al Qur’an. Cahaya masih bermesraan dengan Cahaya lainnya.

Sepanjang 1999

Cahaya terus beraksi. Cahaya merebut berbagai jabatan dikampus. Cahaya mulai sibuk. Mula-mula terlambat satu menit untuk menghadiri pengajian. Mula-mula terlambat satu menit menghadiri seminar. Mula-mula terlambat satu menit menghadiri aksi. Sepertinya Cahaya sangat sibuk.

Mulanya sangka, lalu membulat menjadi fitnah. Cahaya saling beradu dahsyat, mereka tidak seperti satu. Mereka tak lagi cahaya, tapi bara api.

Aku sedih, satu Cahaya meredup, sinarnya retak. dimana ia harus bersandar? sunnahMu kah Rabb?

Beberapa tahun kemudian….

Cahaya masih meniti jalan yang sama. Tapi Cahaya….kenapa? Aksi sepi. Pengajian Sepi. Kemana perginya Kau?

Aku berkelana. Kutemukan Cahaya sedang tertawa didepan sebuah sekretariat mahasiswa. Markas para aktivis dakwah (mungkin) tak jauh beda. Aku menangis. Mengapa? Ingin rasanya Aku berteriak, memberitahu mereka tentang Cahaya yang lain..tapi Aku bisu.

Aku melesat menuju Cahaya yang lain

Sekumpulan Cahaya bersimbah peluh dijalanan. Tapi mereka seharusnya lebih dari ini. Kemana mereka?

Cahaya kutemukan berbaring diatas tempat tidur, saat Cahaya lain memenuhi panggilan perjuangan.

Cahaya lebih memilih didepan TV, internet atau Play Station, saat Cahaya yang lain berhadapan dengan badan-badan kekar dan moncong senjata.

Cahaya sedang merangkai lembaran masa depan, apakah mereka pikir Cahaya yang terkapar tak menginginkan hal yang sama?

“afwan ana sibuk”, “afwan ya akhi, kita kan punya tugas masing-masing”.”afwan…”

Rabb … kenapa cahaya itu saling memancar tapi tak menuju satu titik. Cahaya….kemana hendak kau arahkan sinarmu?

suatu saat pada suatu waktu

by:Jemari

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online