Ketika senja nyaris menenggelamkan seluruh keindahan warna, sang Hati terpekur menatap ufuk barat yang menguning, menikmati warna kesederhanaan yang menyemburat diantara tirai yang makin kelam. Indah, damailah hatinya, melupakan segala penat, segala duka, selaksa kecewa. Pergilah kau gundah.
Mata indra atau mata hatikah yang menipu? Kala jutaan tangan terulur tapi tak satupun terpancar jelas. Mata indra atau mata hatikah yang tertutup? Hingga samudera kasih sayang terhampar bak oase padang pasir yang memupus asa. Mata indra atau mata hatikah yang telah mati? Saat berjuta senyuman yang terlukis diatas kanvas kebersamaan itu terasa hambar. Beku. Pilu.
“Berjalanlah terus”. Ujar sukma pada raga. Memaksa kaki yang belum jua hendak mengakhiri kenikmatan senja. “Bukankah nun didepan sana akan terbentang malam?”. Hati nan gundah mengusik langkah.
Maka hanya Cahaya diatas cahaya yang kan meyingkap kegelisahan. Memaksa siapapun yang berhenti untuk mematut diri. Memaksa siapapun yang melangitkan diri untuk berani beranjak melewati malam.
Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa mihrab? Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa surgawi? Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa suci? Tidakkah kau dekap sang hati kembali? Tidakkah kau sambut rintihannya? Tidakkah kau dekap perasaanya yang dingin?
Hening…..Hening…..senyap…..senyap…..sepi….sepi…..
Selamat datang hati yang lelah. Telah kau temui keberartian dalam likumu yang panjang. Biarlah segala yang beda menjadi segala rasa. Biarlah segala yang kecewa menjadi segala jejak. Biarlah segala sepi menjadi segala nikmat batin. Merapatlah kesauh. Jangan berlayar sendirian, sebab perjalanan masih panjang………sebab kelak kita kan berdiri nafsi, nafsi. Yaa Ayyuhal Muthmainnah…Irji’i Ilaa Robbiki Roodhiyatammardhiyyah. Fadkhuli fii I’baadi, fadkhuli jannatii…..
Membalas catatan hati seorang mbak yang telah menjadi guru dalam jenak kehidupanku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar