Selasa, 19 Februari 2008

Sekolah Plasma – Q

Jum’at, 20 April 2007, 21.50 WIB

Hari ini sekolah pertama anak – anak Plasma – Q. Bertepatan dengan hari lahirnya Ukhti Gita. Beberapa potong kue terhidang menemani pelajaran pertama kami disekolah ini. O ya, sebelumnya jangan membayangkan kalau sekolah ini menempati sebuah gedung, murid – murid berseragam, ada guru dan lain sebagainya layaknya sebuah sekolah. Sekolah ini hanya berupa forum diskusi kecil – kecilan untuk merefleksikan ilmu yang kami dapatkan di pendidikan formal dengan medan dakwah yang sedang kami geluti. Ruangannya menempati seluruh ruang semesta yang mampu kami jangkau.

Kali ini kami bersekolah di Salsabila. Sebuah kontrakan akhwat di belakang bangunan yang dulu terkenal dengan nama ”Dinoyo Theatre”. Esok mungkin sekolah kami ada ditepian danau, pematang sawah, taman kampus atau dimanapun selama kami terus tumbuh belajar didalamnya.

Murid – murid Plasma – Q berjumlah tujuh orang. Mereka merupakan para aktivis dakwah sekolah untuk wilayah dakwah SMA Negeri 9 Malang.

Guru kami kali ini adalah Ukhti Gita. Mahasiswa FK 2005 yang saat ini sedang berbahagia karena mendapat kesempatan untuk menambah amal – amal saat usianya berkurang satu tahun. Diskusi dibuka oleh direktur Plasma Q. Beberapa waktu berikutnya, Gita mulai mencoba mengurai tentang ilmu imunitas yang didapatnya dari perkuliahan mikrobiologi. Beberapa istilah sulit saya cerna. Sudah begitu lama saya tidak bersentuhan secara intens dengan ilmu tubuh ini. Terakhir kali mungkin waktu kelas dua SMA dulu. Jadi butuh memeras otak untuk membayangkan hipotalamus, kelenjar, hormon, sel darah merah, makrofak, plasma dan lain sebagainya. Istilah – istilah yang disampaikan Gita berseliweran begitu saja. Yang pasti, subhanallah....sangat luar biasa Allah nyiptain tubuh kita. Tidak salah kalo ada ungkapan bahwa tubuh kita sesungguhnya rangkuman semesta yang sangat hebat. Rabbana ma kholakta hadza bathila subhanaka fakina adzabannar....

Diskusi mulai terfokus pada satu istilah berjudul Respon Imunitas. Respon imunitas terbagi menjadi dua, yaitu respon imunitas non spesifik dan respon imunitas spesifik. Yang pertama merupakan respon pertamakali jika tubuh menangkap benda – benda asing sementara yang kedua merupakan respon lanjutan jika benda – benda asing itu mulai main keroyokan J.

Gita punya refleksi sendiri tentang Respon Imunitas dengan dakwah yang digelutinya. Mungkin yang lain juga.

Dalam renungan saya, respon imunitas kita dalam dakwah ada dua. Yang pertama akal dan yang kedua adalah hati. Akal merupakan respon imunitas non spesifik dimana benar dan salah dapat ditimbang oleh akal karena masih dapat ditimang dengan mudah. Tetapi ada yang tidak bisa ditimang oleh akal. Maka disinilah respon imunitas spesifik berupa hati berperan. Karenanya rasulullah pernah berpesan untuk meminta fatwa pada hati jika kita gamang dalam menimang sesuatu.

Akal dan hati. Dua alat responsifitas yang harus kita asah terus dalam mengarungi jalan dakwah ini agar senantiasa peka terhadap ”benda – benda asing” yang mungkin berbahaya bagi perjalanan kita. Benda asing yang disiratkan oleh Allah dengan harta, tahta dan manusia. Responsifitas akal harus kita asah dengan memperbanyak bacaan kita. Bukan sekedar memperbanyak tapi juga memperluasnya sehingga menjadi insan cendekia yang faqih. Mengeja fenomena alam semesta dengan membaca, meneliti, merumuskan dan sebagainya. Responsifitas hati diasah dengan berdzikir. Bermuhasabah dan bertobat. Menghindari kemaksiatan seoptimal mungkin. Harmonisasi dzikir dan fikir semoga membawa kita kepada imunitas keimanan yang prima sehingga mampu menegakkan keadilan dalam kehidupan ini.

Seiring senja yang memerah, kami sudahi sekolah kali ini. Dan saya berandai – andai, sekolah seperti ini tumbuh subur.

Wallahu’alam bi shawab

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online