Selasa, 19 Februari 2008

Tentang Seseorang (1)

Memeluk Surga

Aku memanggilnya emak. Wanita yang menggenggam mutiara keteduhan tak ternilai. Sosoknya penuh cinta dan kehangatan. Saya mendengar cerita kepayahan emak saat sembilan bulan membawa belahan hatinya kemanapun dia pergi. Tapi Saya tidak pernah tahu kepedihan yang emak rasakan saat melahirkan saya. Saya juga tidak bisa merasakan perasaan berada di antara kehidupan dan kematian yang begitu tipis jaraknya. Sungguh saya juga tidak mampu mengira-ngira keletihan saat detik-demi detik dilaluinya untuk membesarkan saya. Hanya air mata yang menetes dari pipi yang mampu bercerita betapa saya sedikitpun tak mungkin benar-benar merasakan penderitaanya ketika melahirkan saya.

Kursi kayu depan rumah, menjadi teman setia saat menunggu emak pulang dari kantor. Ada saja makanan yang diberikan untuk saya. Karenanya saya akan mulai menangis saat emak terlambat pulang dari jam biasanya. Khawatir kalau emak ga pernah datang lagi. Ga bisa membelai rambut saya lagi.

Dan Saya bangga ketika emak tersenyum melihat saya mendapatkan rangking ketika sekolah dulu. Saya bangga ketika emak tersenyum melihat saya menjadi delegasi sekolah dalam beberapa kegiatan. Atau saat saya medali dalam sebuah kejuaraan pencak silat. Saya bangga ketika saya menjadi orang yang dibanggakannya. Karenanya saya sungguh bersedih saat tidak mampu masuk STPDN sebagaimana yang pernah diungkapkannya. Saya semakin bersedih ketika emak terus menghibur atas kegagalan saya.

Saat pertamakali meninggalkannya dalam waktu yang lama dan jarak yang jauh, saya hanya menyesal dan terus menyesal. Kecewa karena saat itu juga saya gagal masuk UI. Tapi emak ga marah karena kegagalan saya. Atau menghentikan perhatian dan kasih sayangnya. Bahkan hingga kini disaat kulitnya kian keriput dan satu demi satu rambutnya memutih.

Karenanya saat-saat perut terasa sangat lapar, saya tidak berani meminta uang tambahan. Saya hanya menahannya agar beban emak tidak bertambah. Pernah suatu ketika saya ”merengek” meminta kiriman uang dan menutup telepon dengan kecewa. Yang terbit justeru perasaan bersalah tak terhingga. Jika saja emak punya, pasti itu buat saya. Jika saja saya lapar, emak pasti lebih lapar. Ya Rabb…tidakkah surga menjadi tempat istirahat yang layak baginya.

Sebuah buku yang tak pernah habis dibaca

Aku membaca halaman cinta darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman ketulusan darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman pengorbanan darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman kehidupan darinya tak pernah habis

Sosok yang ringan memberi perhatian

Dialah ibuku...

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online