Rabu, 20 Februari 2008

Kuliah di atas Air mata

Jika anda memperhatikan sejenak saja teman-teman dikampus atau mencoba memutar memori tentang diri sendiri, apa yang antum lihat? Ketika membayangkan masa-masa dikuliah dulu J, masih ingat rasanya betapa senang ketika kita mengobrol, tertawa, bercanda disela-sela menunggu dosen. Terkadang juga dag dig dug jika dosen yang ditunggu adalah dosen berdarah dingin. Masih membekas juga bagaimana beberapa kawan berusaha tampil “anggun” dengan pakaian warna-warni bahkan berusaha untuk tampil dengan model terbaru. Pun demikian ketika menyaksikan sekian banyak potongan rambut, asesoris dan dandanan berbagai macam aliran. Warna-warni kehidupan kampus seperti menutupi berbagai kisah dibelakangnya.

Seorang kawan misalnya, berasal dari sebuah “kampung santri” yang dalam bayangan saya kental dengan nuansa Islamnya meskipun banyak yang melabeli Islam Kultural. Sekian waktu berjalan, toh akhirnya saya menyaksikan dia terkikis oleh pergaulan dan menanggalkan “pakaian keagungannya” meskipun dia masih seorang muslimah. Saya ga tau persis bagaimana perasaan orang tuanya dikampung sana sebagaimana saya juga tidak tahu persis bagaimana latar belakang ekonomi keluarganya. Mungkinkah ia kuliah diatas air mata orang tuanya?

Kawan yang lain mengarungi kuliah dengan lekukan kehidupan yang keras. Waktu-waktu kosong sebelum ataupun sesudah jam-jam efektif kuliah, habis dilalap oleh kesibukannya untuk menutupi biaya kuliah yang semakin mahal. Dia tetap bisa tertawa saat menjalani waktu-waktu kuliah tapi tentu memiliki aroma yang berbeda dengan para mahasiswa dari kalangan berduit yang “ember” kalau hp model baru keluar atau mereka yang punya prinsip muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga atau mereka yang berpandangan everyday is Monday. Para mahasiswa yang menyambung semester demi semester dalam ketidakpastian, tentu banyak yang selalu tertawa tanpa kita ketahui tetes demi tetes airmatanya dalam do’a maupun dalam jenak-jenak waktu yang meletihkan.

Biaya kuliah yang semakin tinggi dan lapangan pekerjaan yang seolah-olah tidak pasti juga berlaku bagi para aktivis dakwah. Mereka yang senantiasa memiliki Izzah untuk tetap tampil percaya diri meski situasi ekonomi keluarga melilit. Mereka yang terus berputar bersama roda dakwah meski menahan lapar. Mereka yang senantiasa menyusuri setapak demi setapak untuk mendekat kepada objek dakwah mereka meski tak memiliki keping rupiah untuk membayar angkot. Mereka yang berusaha untuk tetap berada dalam rel kuliah dan rel dakwah dengan biaya terbatas, mungkin keberadaanya begitu dekat dengan kita. Saking dekatnya terkadang kita tak mampu melihatnya seperti pepatah gajah dipelupuk yang tidak kelihatan.

Lalu bukankah aneh jika kita menyianyiakan amanah dakwah sementara kuliah kita masih terjamin. Bukankah seharusnya kita malu pada mereka yang “kuliah diatas air mata”??

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online