Selasa, 19 Februari 2008

Menjadi Lumpur

Ketika menonton tayangan TV tadi malam, host di penghujung acara bertutur tentang perjalanan panjang sang padi. Hampir mencapai tengah malam kisah ini terus membayang dan selalu bersahut-sahutan dengan perjalanan KAMMI. Berlomba untuk mengisi pikiran.

Pembawa acara bertutur bagaimana awal benih padi terdampar di tempat berlumpur. Becek, kotor, (mungkin) menjijikkan bagi sebagian orang. Tapi dia terus berproses dalam diam hingga sedikit demi sedikit pucuk-pucuk itu menjadi sebuah tanaman. Tanaman itupun tidak berbicara banyak, dia hanya menikmati panasnya matahari dan dinginnya hembusan angin hingga menguning dan melahirkan bulir-bulir keemasan.

Sang bulirpun rupanya mewarisi sifat pendahulnya, meski “dipaksa” untuk terpisahkan dari tubuhnya, merasakan sambitan arit, kemudian menjalani waktu-demi waktu ditengah terik matahari. Ditumbuk bertubi-tubi atau mengalami goncangan dimesin penggiling, meluruhkan tubuhnya. Ia tetap tenang. Tapi dari sinilah kemudian ia menjadi bulir yang bersih.

Ia pun tahu tidak akan berhenti lama, karena ia harus mulai menikmati rasa panas yang tidak kalah menyakitkan diatas mesin penanak nasi. Berhenti sampai disini? Tidak. Diapun harus menyusuri lorong-lorong gelap didalam tubuh manusia, dikunyah, diperas sari-sarinya, dilebur sedemikian rupa hingga menghasilkan energi bagi si tubuh.

Kawan, seperti itulah padi mengajarkan pada kita untuk melewati segala macam ketersiksaan dalam keikhlasan. Kita memang bukan padi yang diam dalam perjalanan pegorbanannya. Terkadang selalu ada curahan hati dan teriakkan yang ingin disampaikan. Marah, kecewa, senang, sedih dan perasaan lainnya yang terkadang sulit untuk dibendung. Atau bahkan tak mampu untuk dialirkan. Dan itu manusiawi. Tetapi seperti padilah kita senantiasa bergerak. Menyisakan manfaat disetiap tempat. Agar selalu memberikan yang terbaik dimanapun berada. Mungkin sekarang kita belum mampu, tapi penilaian kesuksesan kita ada pada saat ruh ini melayang kembali kepada RabbNya. Biarkan saja mereka semua berpendapat, teruslah bergerak, karena RabbMu lebih mengetahui hatimu. Dan mungkin seperti lumpurlah aku memaknai KAMMI. Walaupun ribuan orang menilai tidak memberikan kenyamanan, kotor, ataupun sebaliknya, dimataku disinilah aku memulai perjalanan. Dan disini juga aku menyaksikan orang-orang itu tumbuh lalu pergi menjadi seperti buliran padi yang berproses dan pada akhirnya menggerakkan tempat-tempat dimana mereka tinggal. Jadilah muharriq kawan, jangan pernah berhenti. Baik dalam diam maupun dalam riuh. Didalam lumpur maupun ditubuh-tubuh manusia. Karena lumpur itu tidak akan pernah berhenti melahirkan orang-orang seperti antum. Sang Muharriq Dakwah.

Sesunggunya dakwah itu laksana rerimbun pohon jati dan kita adalah kembang-kembangnya. Sekiranya ribuan kembang itu luruh memeluk bumi. Niscaya Sang Jati akan tetap kokoh berdiri….

Yang membedakan seorang pahlawan dari manusia biasa adalah ia lahir untuk mengukir sejarah, sedangkan orang biasa mengikuti sejarah…

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online