Rabu, 20 Februari 2008

Selamat Datang “Hati”

Adakah langkah yang tak pernah lelah, saat perjalanan terbentang jauh. Diujung sana tak nampak akhir. Hanya kelokan demi kelokan. Sang Hati berjalan tertatih. Ia merasa sendiri. Benar sedang sendiri atau luka hatinya menyebabkan ia merasa sendiri? Terpenjara sepi yang Ia ciptakan diistananya yang terbentang.

Ketika senja nyaris menenggelamkan seluruh keindahan warna, sang Hati terpekur menatap ufuk barat yang menguning, menikmati warna kesederhanaan yang menyemburat diantara tirai yang makin kelam. Indah, damailah hatinya, melupakan segala penat, segala duka, selaksa kecewa. Pergilah kau gundah.

Mata indra atau mata hatikah yang menipu? Kala jutaan tangan terulur tapi tak satupun terpancar jelas. Mata indra atau mata hatikah yang tertutup? Hingga samudera kasih sayang terhampar bak oase padang pasir yang memupus asa. Mata indra atau mata hatikah yang telah mati? Saat berjuta senyuman yang terlukis diatas kanvas kebersamaan itu terasa hambar. Beku. Pilu.

“Berjalanlah terus”. Ujar sukma pada raga. Memaksa kaki yang belum jua hendak mengakhiri kenikmatan senja. “Bukankah nun didepan sana akan terbentang malam?”. Hati nan gundah mengusik langkah.

Maka hanya Cahaya diatas cahaya yang kan meyingkap kegelisahan. Memaksa siapapun yang berhenti untuk mematut diri. Memaksa siapapun yang melangitkan diri untuk berani beranjak melewati malam.

Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa mihrab? Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa surgawi? Kemanakah kau wahai jiwa-jiwa suci? Tidakkah kau dekap sang hati kembali? Tidakkah kau sambut rintihannya? Tidakkah kau dekap perasaanya yang dingin?

Hening…..Hening…..senyap…..senyap…..sepi….sepi…..

Selamat datang hati yang lelah. Telah kau temui keberartian dalam likumu yang panjang. Biarlah segala yang beda menjadi segala rasa. Biarlah segala yang kecewa menjadi segala jejak. Biarlah segala sepi menjadi segala nikmat batin. Merapatlah kesauh. Jangan berlayar sendirian, sebab perjalanan masih panjang………sebab kelak kita kan berdiri nafsi, nafsi. Yaa Ayyuhal Muthmainnah…Irji’i Ilaa Robbiki Roodhiyatammardhiyyah. Fadkhuli fii I’baadi, fadkhuli jannatii…..

Membalas catatan hati seorang mbak yang telah menjadi guru dalam jenak kehidupanku...

Guru ku

Sebut saja namanya Jingga. Dia pegawai disalah satu pekantoran di Malang. Orangnya pendiam. Seorang pendengar yang baik. Wajar jika dia memiliki banyak pasien yang selalu menjadikan dirinya sebagai tempat curhat dari setiap permasalahan hidup. Dia bukan psikolog bahkan kuliahnya sama sekali tidak mempelajari tentang kejiwaan seseorang. Tapi dia lihai dalam mengenali jiwa seseorang.

Senyumnya tulus merekah. Saat teman-temannya datang dengan hati yang rapuh, hatinya telaten menata satu demi satu serpihan hati sehingga kembali kokoh. Saat orang-orang yang sedang diuji itu datang dengan wajah yang muram, wajah cerahnya mengusir mendung yang menggelayut diwajah-wajah penuh gelisah.

Dia tidak banyak bicara. Bukan pemberi nasehat yang ulung. Tidak juga memiliki ayat-ayat yang menumpuk didalam memori otaknya. Dia hanya memiliki hati yang membentang. Atau senyum yang merekah. Atau tangan-tangan halus yang memberi kehangatan dan ketenangan bagi siapa saja.

Jika Allah saja mengirimkan hamba Nya kebumi dengan sifat seperti ini, lalu bagaimana dengan DiriNya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang terjaga sepanjang waktu. Yang menjaga setiap waktu. Setiap saat kau bisa bertemu. Setiap saat kau bisa mengadu.

Kuliah di atas Air mata

Jika anda memperhatikan sejenak saja teman-teman dikampus atau mencoba memutar memori tentang diri sendiri, apa yang antum lihat? Ketika membayangkan masa-masa dikuliah dulu J, masih ingat rasanya betapa senang ketika kita mengobrol, tertawa, bercanda disela-sela menunggu dosen. Terkadang juga dag dig dug jika dosen yang ditunggu adalah dosen berdarah dingin. Masih membekas juga bagaimana beberapa kawan berusaha tampil “anggun” dengan pakaian warna-warni bahkan berusaha untuk tampil dengan model terbaru. Pun demikian ketika menyaksikan sekian banyak potongan rambut, asesoris dan dandanan berbagai macam aliran. Warna-warni kehidupan kampus seperti menutupi berbagai kisah dibelakangnya.

Seorang kawan misalnya, berasal dari sebuah “kampung santri” yang dalam bayangan saya kental dengan nuansa Islamnya meskipun banyak yang melabeli Islam Kultural. Sekian waktu berjalan, toh akhirnya saya menyaksikan dia terkikis oleh pergaulan dan menanggalkan “pakaian keagungannya” meskipun dia masih seorang muslimah. Saya ga tau persis bagaimana perasaan orang tuanya dikampung sana sebagaimana saya juga tidak tahu persis bagaimana latar belakang ekonomi keluarganya. Mungkinkah ia kuliah diatas air mata orang tuanya?

Kawan yang lain mengarungi kuliah dengan lekukan kehidupan yang keras. Waktu-waktu kosong sebelum ataupun sesudah jam-jam efektif kuliah, habis dilalap oleh kesibukannya untuk menutupi biaya kuliah yang semakin mahal. Dia tetap bisa tertawa saat menjalani waktu-waktu kuliah tapi tentu memiliki aroma yang berbeda dengan para mahasiswa dari kalangan berduit yang “ember” kalau hp model baru keluar atau mereka yang punya prinsip muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga atau mereka yang berpandangan everyday is Monday. Para mahasiswa yang menyambung semester demi semester dalam ketidakpastian, tentu banyak yang selalu tertawa tanpa kita ketahui tetes demi tetes airmatanya dalam do’a maupun dalam jenak-jenak waktu yang meletihkan.

Biaya kuliah yang semakin tinggi dan lapangan pekerjaan yang seolah-olah tidak pasti juga berlaku bagi para aktivis dakwah. Mereka yang senantiasa memiliki Izzah untuk tetap tampil percaya diri meski situasi ekonomi keluarga melilit. Mereka yang terus berputar bersama roda dakwah meski menahan lapar. Mereka yang senantiasa menyusuri setapak demi setapak untuk mendekat kepada objek dakwah mereka meski tak memiliki keping rupiah untuk membayar angkot. Mereka yang berusaha untuk tetap berada dalam rel kuliah dan rel dakwah dengan biaya terbatas, mungkin keberadaanya begitu dekat dengan kita. Saking dekatnya terkadang kita tak mampu melihatnya seperti pepatah gajah dipelupuk yang tidak kelihatan.

Lalu bukankah aneh jika kita menyianyiakan amanah dakwah sementara kuliah kita masih terjamin. Bukankah seharusnya kita malu pada mereka yang “kuliah diatas air mata”??

Ramadhan Love Story

Negeri antah berantah. Pada ramadhan yang kesekian. Seorang lelaki terpekur dalam diam. Hatinya berkecamuk gundah gulana. Saat ramadhan ini dia justeru merasa sangat dekat dengan salah seorang perempuan. Ibadah pun mulai kerepotan dia jalani dengan khusyu. Ada saja detik-detik yang berlalu penuh dengan kerinduan. Membayangkan kemungkinan membangun kehidupan masa depan bersama yang dirindunya.

Awalnya pembicaraan ringan, tapi lama kelamaan timbul perasaan ingin mengenal lebih jauh. Yang terjadi, katakanlah sang lelaki sedang menimang untuk jatuh cinta. Sang perempuan ternyata lebih dulu memutuskan jatuh cinta. Sang lelaki tertembak. Dia gundah.

Beginilah cinta bermain. Dari mata turun kehati. Dari kata menjelma jadi simpati. Pelan namun pasti, gelora itu hadir menggoda. Siapa yang menabur, dia menuai. Namun cinta bukan masalah suka semata. Sang lelaki tahu betul itu. Ia berkomunikasi pada sahabatnya. Menceritakan gundah gulananya. Tentang cinta yang bermain-main dipelupuk mata. Cinta yang sudah lebih dulu ditangkap oleh sang perempuan.

Para pecinta selalu membutuhkan tempat berbagi. Sang sahabat mendengarkan pasti sebab dia tahu betul orang yang sedang jatuh cinta lebih ingin mengungkapkan gelora yang terjadi dalam hatinya. Meskipun awalnya terkadang malu-malu untuk diungkapkan.

Beginilah nasib mencintai. Ada yang bertepuk sebelah tangan, ada yang tidak ditepuk dan ada yang bertepuk. Yang bertepuk sebelah tangan, patah hati. Yang tidak ditepuk, tersimpan dihati. Yang bertepuk, riang hati.

Maka ramadhan yang kesekian, sang lelaki menyimpan pertanyaan pada sahabat, mengapa kisah cintanya kerap hadir saat ramadhan? Ada apa dengan ramadhan? Mungkinkah karena saat itu dia berada pada pusaran yang paling kuat dengan Sang Pemberi Cinta? Sang lelaki belum menemukan jawabnya. Entah butuh berapa ramadhan lagi.

Tentang Cinta

Cinta adalah kata ajaib. Kata yang begitu menggemaskan sehingga tak jemu-jemunya berbagai macam tulisan mengupas tuntas tentangnya. Jika kau menanyakan pada setiap orang yang pernah jatuh cinta, mereka pasti kesulitan mendefinisikan cinta. Sebab cinta memang tidak butuh definisi. Dia adalah hak istimewa bagi para pecinta, sehingga secara absurd definisinya pun mengiringi penafsiran para pecinta.

Bagi kita para remaja yang tergabung dalam barisan dakwah, tentu lebih tersipu malu jika ditanya soal cinta. Walaupun kita tentu sepakat bahwa cinta tertinggi hanya untuk Allah, tapi toh kita juga tidak terbebas begitu saja dari yang namanya jatuh cinta kepada lawan jenis. Dia datang tiba-tiba saja tanpa pernah kau mengerti atau tanpa pernah kau inginkan.

Begitulah cinta datang menyapa. Bisa berupa air bah yang menggulung para pecinta dalam lembah penderitaan, tapi bisa juga datang bak seteguk air bagi para pengembara ditengah samudera padang pasir yang tandus. Dia bisa datang bak kobaran api yang membakar pepohonan di rimba belantara, namun juga bisa hadir bak api unggun bagi para pendaki. Tapi cinta adalah angin, hanya bisa kau rasakan.

Maka para pecinta hanya bisa bertemu dengan para pecinta juga. Orang mungkin heran melihat para pecinta yang memberikan apa saja kepada yang dicintai, memberi kehormatan dirinya bahkan nyawanya. Orang mungkin heran melihat para pecinta yang meratapi kepergian orang yang dicintainya hingga menjadi pesakitan sebagaimana kisah Laila-Majnun. Semuanya bagi saya wajar sebab sekali lagi, cinta hanya bisa dipahami dengan cinta. Tidak dengan logika. Logika hanya dipakai untuk mengendalikan dan tidak untuk memahami cinta.

Maka berdakwah adalah cinta. Sebab kita akan menyapa orang-orang yang dikaruniai cinta. Inilah mungkin yang menjadi rahasia kesuksesan Rasulullah, sebab Ia begitu mencintai ummatnya. Hingga akhir hayatnya. lafal cintanya mengalun.. ummatii..ummatii..ummatii.

Rasulullah bisa sedemikian tulus memberikan cinta kepada ummatnya sehingga cinta ummatnya pun mengalir begitu deras padanya. Terutama para generasi sahabat yang menjadikan diri mereka sebagai tameng bagi sang rasul. Rahasianya jelas pada pusaran cinta Rasulullah pada Sang Pemberi Cinta, Allah swt. Kita tentu ingat bagaimana kaki Rasulullah membengkak saat berkhalwat dengan Rabbnya, diiringi tangis syahdu yang membuat orang-orang disekitarnya niscaya akan merasakan pusaran kenikmatannya.

Begitulah cinta sejati. Jika dia berada pada pusaran Sang Pemberi Cinta, maka kenikmatannya menjalar dibanyak orang. Sementara cinta kamuflase, hanya menjalar diantara mereka. Radius kenikmatannya sangat lemah sekali dirasakan oleh sekelilingnya. Maka saat kita sedang jatuh cinta pada seseorang, lihatlah reaksi orang-orang shaleh disekeliling kita. Jika mereka nyaman dengan drama cinta yang sedang bermain dalam hati kita, maka mudah-mudahan cinta kita berada pada pusaran yang sama dengan Rasulullah. Namun jika kita tiba-tiba merasa sangat jauh dengan orang-orang shaleh disekitar kita, mungkin ada yang salah dengan cinta kita. Sebab pusaran orang saleh berada pada pusaran cinta Allah, Sang Pemberi Cinta.

Selasa, 19 Februari 2008

Tentang Sesorang (3)

Sahabat

Adakah orang yang tidak mempunyai seorang pun teman istimewa dalam kehidupannya. Teman yang memberinya ruang untuk berbagi setiap tawa dan tangisnya. Teman yang menempati rongga-rongga istimewa di taman hatinya. Teman yang menjadi tempat berlari kita dari kegelisahan-kegelisahan manusiawi.

Dia bukan sekedar teman. Sebab teman biasa tidak membuat kita nyaman menangis dihadapannya. Mengambil rasa percaya kita sehingga saat-saat jatuh cinta pun kita ceritakan padanya. Atau membagi rahasia terbesar dalam hidup kita.

Ini tentang seseorang. Atau beberapa orang. Yang meredakan gejolak amarah kita dan menunjukkan kita kebenaran. Seolah-olah kita melemparkan bebatuan amarah ketengah danau telaga nan luas. Awalnya melahirkan riak gelombang tapi ujungnya adalah kedamaian. Kita menyebut seseorang ini dengan panggilan sahabat.

Sahabat sejati hadir untuk memberi. Dia bukan orang yang selalu membenarkan kata-kata kita. Sebab sahabat sejati adalah yang mampu berkata benar dihadapan kita. Sahabat sejati membela kita saat kita salah. Bukan dengan membenarkan kesalahan kita tetapi dengan menunjukkan kebenaran kepada kita. Saat itulah kita mengetahui kesalahan dan kekhilafan kita. Sahabat sejati datang tidak untuk menghakimi. Tapi untuk menghadirkan kebijakan dalam relung-relung hati kita. Yang membuat kita tak ingin kehilangan dirinya.

Betapa banyak yang ingin kita ceritakan padanya. Menahan kerinduan saat dia jauh dari kita. Terlebih saat-saat kita membutuhkan kehadirannya. Saat-saat kita membutuhkan cermin untuk melihat diri kita. Betapa berharganya sahabat kala itu. Sebab sesuatu kerap kita ketahui nilai keberadaanya justeru saat dia hilang atau jauh dari kita.

Bagaimanapun, sahabat tetaplah manusia biasa. Adakalanya dia berubah menjadi orang yang begitu kita benci. Menjadi orang asing yang tidak kita kenal sebelumnya. Mungkin karena rasa percaya yang hilang dari diri kita. Mungkin juga karena cemburu yang membangunkan egois dalam diri kita. Bahkan mungkin karena tidak sejalan dengan kita. Terlalu jauh berbeda. Saat itulah mungkin segala kebaikannya selama ini tiba-tiba hilang dari jejak. Saat itulah kita melupakan bahwa selama ini dia mungkin memendam setiap gelisah yang dia miliki sebagai seorang manusia biasa. Saat dia ingin berbicara tetapi kita menginginkan dia mendengar. Saat dia ingin bertutur tapi kita lebih dahulu bertutur.

Seharusnya tak ada kata pergi atau menghilang bagi sahabat. Sebab sahabat bak bintang gemintang. Kala terang kita mungkin tak melihatnya tetapi sesungguhnya dia ada. Maka jangan hanya melihatnya saat malam menghampirimu, sapalah dia saat kau juga melihat terang. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum sahabat benar-benar tak mampu kita lihat. Dan tak lagi dekat.

Nb: teruntuk sahabat karib, terimalah salam hangatku…

Tentang Seseorang (2)

Surga yang lain

Saya menangis didepan gerbang TK. Menanti bapak datang menjemput dengan sepeda yang biasa mengantarkan saya ke sekolah. Saya tidak mau diantar atau dijemput kecuali dengan bapak. Ya...bapak adalah sosok yang istimewa bagi saya. Bapak yang humoris, pinter ngomong dan banyak teman. Saat emak berangkat ke kantor, detik-detik dilalui bersama bapak distudio foto yang kami miliki. Atau bersama-sama melihat beberapa sawah kami yang sedang panen. Bapak membawa saya pada dunia yang lebih luas. Pada pandangan yang lebih membentang.

Saya belajar banyak hal dari bapak. Tentang kesabaran. Tentang ketegaran. Perjalanan hidup bersamanya adalah potret bahagia yang terbingkai rapih dalam ingatan.

Sewaktu aktif di Pramuka, bapak telaten mengikutiku ketika Gudep Sekolah mengadakan penjelajahan yang cukup jauh. Seingat saya waktu itu saya duduk di kelas 2 SD. Peluh mengalir pelan dari pipiku dan bapak hanya tersenyum. Senyum yang mengusir keluh. Saat perjalanan kembali dilanjutkan, sesekali saya melihat ke belakang dan selalu senang saat menemukan bapak masih berada dibelakangku.

Masih di aktivitas ke Pramukaan dan waktu yang telah membentang. Saya sudah menginjak kelas 4 SD. Bapak sudah tidak lagi mengikutiku saat penjelajahan. Dan semakin kurasa kehilangannya saat Jambore Nasional 1996 di Cibubur. Waktu itu saya duduk di bangku SMP. Ini adalah kemah terlama yang saya ikuti. Disaat teman – teman lain dijenguk orang tuanya rasa kehilangan itu semakin nyata. Tenda yang sepi menjadi saksi bisu air mata kerinduan yang merayap. Membuat saya semakin tahu betapa berharganya sosok orang tua.

Ketika kami memberi makan ayam – ayam dibelakang rumah, bapak mengambil buku panduan penataran P4 yang kupegang. Disitu tertera nama – nama siswa yang berprestasi atau yang menjabat sebagai pengurus OSIS. Saat itu Bapak berujar ”Juli harus tertera namanya seperti senior – senior ini”. Dan saya pun tertera dibuku penataran P4 ditahun – tahun berikutnya. Do’a orangtua memang cepat sampai pada Allah.

Bapak jarang memberi nasehat lewat kata, dia memberinya lewat cinta yang nyata dirasa. Lewat kepercayaan yang diberikan kepada anaknya untuk terus berkelana. Mencari mutiara – mutiara kehidupan yang bertebaran dibumi. Bapak tidak pernah melarang saya aktif diberbagai organisasi. Bapak lah yang mendorong saya ikut Jambore nasional meski biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Bapak lah yang mendorong saya untuk sekolah disekolah – sekolah papan atas. Bapak juga yang terus mendorong saya untuk terbang lebih tinggi. Untuk tidak takut bersaing dengan orang lain. Untuk memecah keterbatasan selama masih ada ruang kemungkinan. Untuk terus melaju meski kerap terjatuh. Untuk terus meniti tangga menuju tempat yang lebih tinggi.

Dia yang bersusah payah membiayai kepakkan sayap saya. Bahkan terkadang harus meminjam kepada keluarga yang lain agar saya terus melaju. Tak perduli perih yang telah menganga, bapak terus mendorong saya, bahkan hingga saat ini. Bapaklah sesungguhnya anak tangga – anak tangg yang mengantarkanku ketempat sekarang. Dan begitulah kebanyakan orang tua telah menjadi anak tangga – anak tangga yang diinjak oleh anak – anaknya tercinta.

Maka saat kau telah meninggi, janganlah lupa. Bahwa engkau sesungguhnya berdiri diatas kepayahan orang tua. Ah bapak...semoga kudapatkan surga dari setiap kebahagiaan yang kau rasa saat ananda meraih prestasi demi prestasi dalam kehidupan ini. Rabb saya menyayanginya, ku mohon sayangilah Bapak.

Tentang Seseorang (1)

Memeluk Surga

Aku memanggilnya emak. Wanita yang menggenggam mutiara keteduhan tak ternilai. Sosoknya penuh cinta dan kehangatan. Saya mendengar cerita kepayahan emak saat sembilan bulan membawa belahan hatinya kemanapun dia pergi. Tapi Saya tidak pernah tahu kepedihan yang emak rasakan saat melahirkan saya. Saya juga tidak bisa merasakan perasaan berada di antara kehidupan dan kematian yang begitu tipis jaraknya. Sungguh saya juga tidak mampu mengira-ngira keletihan saat detik-demi detik dilaluinya untuk membesarkan saya. Hanya air mata yang menetes dari pipi yang mampu bercerita betapa saya sedikitpun tak mungkin benar-benar merasakan penderitaanya ketika melahirkan saya.

Kursi kayu depan rumah, menjadi teman setia saat menunggu emak pulang dari kantor. Ada saja makanan yang diberikan untuk saya. Karenanya saya akan mulai menangis saat emak terlambat pulang dari jam biasanya. Khawatir kalau emak ga pernah datang lagi. Ga bisa membelai rambut saya lagi.

Dan Saya bangga ketika emak tersenyum melihat saya mendapatkan rangking ketika sekolah dulu. Saya bangga ketika emak tersenyum melihat saya menjadi delegasi sekolah dalam beberapa kegiatan. Atau saat saya medali dalam sebuah kejuaraan pencak silat. Saya bangga ketika saya menjadi orang yang dibanggakannya. Karenanya saya sungguh bersedih saat tidak mampu masuk STPDN sebagaimana yang pernah diungkapkannya. Saya semakin bersedih ketika emak terus menghibur atas kegagalan saya.

Saat pertamakali meninggalkannya dalam waktu yang lama dan jarak yang jauh, saya hanya menyesal dan terus menyesal. Kecewa karena saat itu juga saya gagal masuk UI. Tapi emak ga marah karena kegagalan saya. Atau menghentikan perhatian dan kasih sayangnya. Bahkan hingga kini disaat kulitnya kian keriput dan satu demi satu rambutnya memutih.

Karenanya saat-saat perut terasa sangat lapar, saya tidak berani meminta uang tambahan. Saya hanya menahannya agar beban emak tidak bertambah. Pernah suatu ketika saya ”merengek” meminta kiriman uang dan menutup telepon dengan kecewa. Yang terbit justeru perasaan bersalah tak terhingga. Jika saja emak punya, pasti itu buat saya. Jika saja saya lapar, emak pasti lebih lapar. Ya Rabb…tidakkah surga menjadi tempat istirahat yang layak baginya.

Sebuah buku yang tak pernah habis dibaca

Aku membaca halaman cinta darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman ketulusan darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman pengorbanan darinya tak pernah habis

Aku membaca halaman kehidupan darinya tak pernah habis

Sosok yang ringan memberi perhatian

Dialah ibuku...

KAMMI dan Samudera

Nun sebuah tempat bernama samudera. Sekian partikel air berkumpul menjadi sebuah ketakjuban. Sejauh mata memandang adalah keteduhan biru dan kejernihan air. Nun disetiap waktu, partikel tersebut mengalir. Merembes disetiap detak tanah, melewati ragam permukaan, meliuk disetiap kerasnya cadas. Nun pada sebuah tempat dia tergenang lalu membusuk.

Nun sebuah tempat bernama KAMMI. Sekian semangat kader berkumpul menjadi sebuah kekuatan. Sejauh mata memandang adalah kesungguhan dan kecerdasan aksi. Nun disetiap waktu, kader tersebut mengalir diseluruh penjuru negeri. Merembes disetiap detak rakyat, melewati ragam manusia, meliuk disetiap kerasnya “batas”. Nun pada sebuah waktu dia memilih…..

Kawan, KAMMI dan Samudera adalah sebuah bayang dalam cermin. Apa yang membuat sang samudera tak pernah berhenti mengalir. Kekuatan apa yang membuat geraknya seolah tak kenal henti. Bercerminlah pada samudera, dia senantiasa bergerak memberi maka dia senantiasa menerima dan terus begitu…

Ini bukan pelajaran untuk mengotori keikhlasan, justeru disinilah kita belajar keikhlasan. Samudera bergerak lembut dalam kefitrahan. Dalam batas-batasnya sebagai ciptaan Sang Rabbul a’lamiin. Dalam geraknya yang mengikuti sunnah titah Nya. Karenanya Samudera tidak mengenal kata henti karena ia dikaruniai energi dari yang tak pernah mati.

Maka begitulah seharusnya KAMMI. Mengambil energi dari yang tak pernah mati, hingga ia takkan mengenal kata henti. Kesadarannya untuk bergerak, menyisakan yang bersih meski dia melewati lumpur ataupun bebatuan.

Kawan, adakah cinta tanpa pembuktian. Adakah pembuktian tanpa sebuah pergerakan. Adakah sebuah pergerakan tanpa ujian. Maka pilihlah tuk terus bergerak…dicaci ataupun dipuji. Mari saling mendo’akan agar senantiasa diberi kekuatan untuk bergerak…semoga Allah meridhoi.

Teruntuk: pejuang-pejuang KAMMI, saat berdiri dipersimpangan jalan.

Menjadi Lumpur

Ketika menonton tayangan TV tadi malam, host di penghujung acara bertutur tentang perjalanan panjang sang padi. Hampir mencapai tengah malam kisah ini terus membayang dan selalu bersahut-sahutan dengan perjalanan KAMMI. Berlomba untuk mengisi pikiran.

Pembawa acara bertutur bagaimana awal benih padi terdampar di tempat berlumpur. Becek, kotor, (mungkin) menjijikkan bagi sebagian orang. Tapi dia terus berproses dalam diam hingga sedikit demi sedikit pucuk-pucuk itu menjadi sebuah tanaman. Tanaman itupun tidak berbicara banyak, dia hanya menikmati panasnya matahari dan dinginnya hembusan angin hingga menguning dan melahirkan bulir-bulir keemasan.

Sang bulirpun rupanya mewarisi sifat pendahulnya, meski “dipaksa” untuk terpisahkan dari tubuhnya, merasakan sambitan arit, kemudian menjalani waktu-demi waktu ditengah terik matahari. Ditumbuk bertubi-tubi atau mengalami goncangan dimesin penggiling, meluruhkan tubuhnya. Ia tetap tenang. Tapi dari sinilah kemudian ia menjadi bulir yang bersih.

Ia pun tahu tidak akan berhenti lama, karena ia harus mulai menikmati rasa panas yang tidak kalah menyakitkan diatas mesin penanak nasi. Berhenti sampai disini? Tidak. Diapun harus menyusuri lorong-lorong gelap didalam tubuh manusia, dikunyah, diperas sari-sarinya, dilebur sedemikian rupa hingga menghasilkan energi bagi si tubuh.

Kawan, seperti itulah padi mengajarkan pada kita untuk melewati segala macam ketersiksaan dalam keikhlasan. Kita memang bukan padi yang diam dalam perjalanan pegorbanannya. Terkadang selalu ada curahan hati dan teriakkan yang ingin disampaikan. Marah, kecewa, senang, sedih dan perasaan lainnya yang terkadang sulit untuk dibendung. Atau bahkan tak mampu untuk dialirkan. Dan itu manusiawi. Tetapi seperti padilah kita senantiasa bergerak. Menyisakan manfaat disetiap tempat. Agar selalu memberikan yang terbaik dimanapun berada. Mungkin sekarang kita belum mampu, tapi penilaian kesuksesan kita ada pada saat ruh ini melayang kembali kepada RabbNya. Biarkan saja mereka semua berpendapat, teruslah bergerak, karena RabbMu lebih mengetahui hatimu. Dan mungkin seperti lumpurlah aku memaknai KAMMI. Walaupun ribuan orang menilai tidak memberikan kenyamanan, kotor, ataupun sebaliknya, dimataku disinilah aku memulai perjalanan. Dan disini juga aku menyaksikan orang-orang itu tumbuh lalu pergi menjadi seperti buliran padi yang berproses dan pada akhirnya menggerakkan tempat-tempat dimana mereka tinggal. Jadilah muharriq kawan, jangan pernah berhenti. Baik dalam diam maupun dalam riuh. Didalam lumpur maupun ditubuh-tubuh manusia. Karena lumpur itu tidak akan pernah berhenti melahirkan orang-orang seperti antum. Sang Muharriq Dakwah.

Sesunggunya dakwah itu laksana rerimbun pohon jati dan kita adalah kembang-kembangnya. Sekiranya ribuan kembang itu luruh memeluk bumi. Niscaya Sang Jati akan tetap kokoh berdiri….

Yang membedakan seorang pahlawan dari manusia biasa adalah ia lahir untuk mengukir sejarah, sedangkan orang biasa mengikuti sejarah…

Diary Cahaya

Indonesia, 1980 an

Aku angin. Berkelana , berhembus, menari, meliuk diantara dimensi ruang dan waktu. Inilah aku dinegeri dengan berjuta pesona. Oh..kasihan rakyat negeri ini, terjebak dalam kejahiliyahan. Masjid kering. Mushaf terbujur di almari.

Masih ditahun 1980 an

Satu dua cahaya mulai mengembang. Aku mendekat. Rupanya Dustur mulai hidup. Aku menangis entah karena apa…”ana uhibbukum fillah” sebuah cahaya berujar. Aku cemburu.

Medio 1980 an

Cahaya mulai membiak. Satu..dua..tiga..empat..…entah berapa aku tak tahu pasti. Cahaya tampak pada pemuda bersahaja. Jenggotnya tipis menggelayut riang disebuah dagu dengan bibir yang selalu basah, memerah ranum dengan dzikir. Cahaya juga tampak pada perempuan tegar yang menutup rapat seluruh auratnya. Menjaga harga dirinya dari kehinaan. Cahaya-cahaya masih berada dilorong pekat.

1990 an

Cahaya mulai dianggap asing. Setelah sebelumnya dianggap tiada. Ia mengusik ketentraman kegelapan. Satu cahaya harus dikeluarkan dari tempat dimana ia menuntut ilmu. Ia berontak, bangkit. Lalu berikutnya selalu ada Cahaya yang ingin dipadamkan. Satu tahun..dua tahun..tiga tahun…Cahaya terus memperjuangkan keyakinannya. Sebuah pelajaran dari sang Nabi.

Cahaya-cahaya mulai berhimpun. Merajut tekad menyirnakan kegelapan negeri. Sepuluh tahun, begitu tekad mereka! Al Quran dan Sunnah menemani setiap langkah. Mereka tampak akrab. Siapapun yang hidup hatinya, pasti iri dengan kemesraan mereka.

Juli 1997

Badai moneter menyerang negeri ini. Aku berkelana dari Aceh hingga Merauke. Banyak tarian kelaparan dan tangis kepedihan. Sempurnalah orkestra kemiskinan dengan syair keputus asaannya. Cahaya-cahaya diam, namun kilaunya semakin terang. Ah rupanya mereka sedang mengadu pada RabbNya. Masya Allah, air mata itu begitu indah. Kembali Aku iri…

Akhir 1997

Aku melihat cahaya itu berkerumunan dijalanan. Aku mendekat penasaran. Mereka sedang menyuarakan suara rakyat. Dimana pemerintah?

Awal 1998

Cahaya masih akrab dengan jalanan. Jumlah sudah lebih banyak. Mmm…ini yang kusenangi, mereka masih memegang Al Quran.

April 1998

Aku mendatangi kerumunan Cahaya disebuah kota, sejuk dan damai. Cahaya-cahaya berkilatan mengeluarkan gagasannya. Cahaya berhimpun dalam telaga. Cahaya makin lantang. Al Qur’an masih ditangan. Cahaya tidak takut mati. Cahaya bersemangat memenuhi seruan perjuangan. Cahaya penuhi pengorbanan. Cahaya tapaki hakikat berjuang. Setetes dua tetes darah tak seberapa. Rupiah demi rupiah entah sudah berapa. Duhai Ar Rahman..aku tahu mereka membutuhkan rupiah itu, dan Engkau lebih tahu.. Beberapa cahaya mulai dikeluarkan dari kampus mereka. Mereka tetap damai dalam pelukan persaudaraan yang erat. Satu cahaya terdzalimu, beribu tangan dan hati menawarkan sandaran.

21 Mei 1998

Cahaya bersimpuh. Satu rintangan telah terlewati. Al Quran masih ditangan. Cahaya masih menggelora. Perjuangan belum usai…

Sepanjang 1998

Hari-hari cahaya adalah hari-hari aksi. Biarlah tahun ini menjadi tahun pengorbanan, begitu kira-kira yang ada dibenak Cahaya. Cahaya berjalan puluhan kilo untuk aksi. Cahaya menyusuri ratusan kilo untuk mengaji. Cahaya bersahabat dengan jutaan detik dan jarak untuk memenuhi forum-forum diskusi.

Cahaya tergeletak bersimbah darah. Cahaya berbalut perban. Tapi cahaya terus bergerak. Cahaya oh cahaya…dimana sembunyinya kelelahanmu..?

Cahaya masih lekat dengan Al Qur’an. Cahaya masih bermesraan dengan Cahaya lainnya.

Sepanjang 1999

Cahaya terus beraksi. Cahaya merebut berbagai jabatan dikampus. Cahaya mulai sibuk. Mula-mula terlambat satu menit untuk menghadiri pengajian. Mula-mula terlambat satu menit menghadiri seminar. Mula-mula terlambat satu menit menghadiri aksi. Sepertinya Cahaya sangat sibuk.

Mulanya sangka, lalu membulat menjadi fitnah. Cahaya saling beradu dahsyat, mereka tidak seperti satu. Mereka tak lagi cahaya, tapi bara api.

Aku sedih, satu Cahaya meredup, sinarnya retak. dimana ia harus bersandar? sunnahMu kah Rabb?

Beberapa tahun kemudian….

Cahaya masih meniti jalan yang sama. Tapi Cahaya….kenapa? Aksi sepi. Pengajian Sepi. Kemana perginya Kau?

Aku berkelana. Kutemukan Cahaya sedang tertawa didepan sebuah sekretariat mahasiswa. Markas para aktivis dakwah (mungkin) tak jauh beda. Aku menangis. Mengapa? Ingin rasanya Aku berteriak, memberitahu mereka tentang Cahaya yang lain..tapi Aku bisu.

Aku melesat menuju Cahaya yang lain

Sekumpulan Cahaya bersimbah peluh dijalanan. Tapi mereka seharusnya lebih dari ini. Kemana mereka?

Cahaya kutemukan berbaring diatas tempat tidur, saat Cahaya lain memenuhi panggilan perjuangan.

Cahaya lebih memilih didepan TV, internet atau Play Station, saat Cahaya yang lain berhadapan dengan badan-badan kekar dan moncong senjata.

Cahaya sedang merangkai lembaran masa depan, apakah mereka pikir Cahaya yang terkapar tak menginginkan hal yang sama?

“afwan ana sibuk”, “afwan ya akhi, kita kan punya tugas masing-masing”.”afwan…”

Rabb … kenapa cahaya itu saling memancar tapi tak menuju satu titik. Cahaya….kemana hendak kau arahkan sinarmu?

suatu saat pada suatu waktu

by:Jemari

Zaman Baru, Manusia Baru

Sebuah ruang besar kehidupan dalam dimensi ruang dan waktu, telah membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa disetiap zaman ada pejuangnya masing-masing. Perjalanan panjang dakwah telah menasbihkan dirinya untuk tidak diusung oleh satu generasi tetapi antar generasi. Begitulah dakwah bergerak dalam alur fitrahnya, bahwa ia tidak akan (boleh) mati karena matinya sorang da’i. Itulah mungkin pelajaran yang dapat kita ambil manakala Allah SWT memberikan pilihan kepada Rasulullah SAW, keabadian dunia atau pertemuan dengan Rabb nya, maka Rasulullah memilih bertemu Rabb nya dengan menggelar haji wada’ seraya meninggalkan dua perkara sebagai peta keselamatan yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Disinilah kita juga menemukan janji Allah, bahwa Dia dan pasukan Nya yang akan menjaga kemurnian Al-Quran. Rangkaian panjang ini kemudian yang seharusnya meyakinkan kita bahwa perubahan tidak dapat kita nafikan dan yang lebih terpenting dari itu adalah kita harus menyiapkan diri menghadapi perubahan agar kita terus berada dalam gerbong dakwah dan berdiri teguh diatasnya.

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW memerintahkan sahabat Bilal untuk mengumandangkan adzan dengan berkata “istirahatkan kami wahai bilal”. Istirahat! Betapa mulianya Sang Nabi sehingga istirahat yang dimintanya adalah Sholat. Pun demikian halnya para sahabat dan generasi salafus shaleh senantiasa gandrung akan majlis-majlis iman sehingga mereka mendapatkan supply energi yang begitu besar untuk kemudian bertebaran diseluruh penjuru bumi.

Kini kita hidup dimana perubahan begitu sangat cepat dan tidak stabil. Dan dakwah kini telah menyemburat sepanjang nusantara. Tumbuh disebuah mihwar bernama mihwar muassasi. Sebuah mihwar dimana para kader dakwah harus bekerja diseluruh institusi sosial yang ada dimasyarakat. Kita tidak lagi dituntut sekedar menyebar ditengah masyarakat, tapi kita dituntut untuk melakukan mobilitas vertikal sebagai prasyarat meraih kesuksesan dimihwar ini. Rumit? Jelas! Karena disini kita tidak sekedar membentuk opini publik untuk berpihak kepada islam tetapi harus memberikan legalisasinya sehingga dapat dijalankan oleh semua masyarakat.

Maka perkuatlah bahteramu. Kita harus melakukan pengokohan terhadap tandzhim dakwah kita. Menyingkirkannya dari indikator-indikator kehancuran. Membuka kembali perbendaharaan ilmu kita mengenai teori-teori manajemen organisasi, manajemen-manajemen harakah dan melakukan kembali penataan-penatan dakwah serta melindunginya dari debu-debu perpecahan.

Maka siapkanlah perbekalan karena muhibah ini sangat panjang. Kita harus mengokohkan struktur berpikir kita. Memperkuat basis ideologi kita dan memperkuat tradisi pembelajar kita. Kita harus membuat sebuah strategi dakwah yang kokoh sehingga mampu bertahan hingga sampai kedermaga. Dan mungkinkah kita dapat mendapatkannya dari syuro-syuro yang berlangsung tanpa persiapan, tanpa dasar yang jelas selain intuisi. Dapatkah kita mendapatkannya dari pembicaraan besok “mengadakan apa” tanpa pernah kritis mengemukakan “untuk apa diadakan”. Akankah kita mendapatkan perbekalan ketika kita membicarakan “siapa yang memberi” dan tidak mendengar “apa yang dia beri”. Masihkah kita pertahankan logika “kemarin atau dulu” tanpa mengimbanginya dengan logika “sekarang dan yang akan datang”.

Ini adalah zaman kita kawan. Mari kita sholat. Sang muadzin telah menawarkan kita kemenangan dengan mengajak kita pada spiritual yang tinggi dan jangka panjang, bukan an sich duniawi nan pragmatis yang sempit. Saat dakwah mendapatkan kesempatan berada dalam institusi masyarakat, jangan pernah sekedar berpikir peluang bisnis.

Saat kita berdiri dengan niat lillahi ta’ala, mengumandangkan takbir dengan menghadap kiblat dan suara yang lantang. Maka kita pada mihwar ini harus tetap meluruskan orientasi kita, menghadap arah yang sama dan mengumandangkan dengan lantang kebenaran.

Saat kita rukuk dan sujud mengagungkan Rabb, maka pada mihwar ini kita tidak boleh merasa jumawa lalu lupa mengagungkan Rabb.

Maka tetaplah telunjuk ini berhias syahadat sebab kita ingin menutupnya dengan salam keselamatan. Untuk masyarakat dikiri kita, depan kita, kanan kita, bahkan dibelakang kita.

Menuju Milad VIII KAMMI, Selamat datang muslim negarawan. Selamat menjadi manusia baru, untuk zaman baru. Jadilah batu bata terbaik dalam zaman ini. Jangan risau dengan celaan generasi lalu yang bangkrut sebab mereka akan berlalu. Ya Rabb, temani dan jagalah kami dan KAMMI selalu. (zoel) 010306

Kader Kreatif atau Kere Aktif

Menyimak diskusi disuatu sore mengenai kader kreatf, mengenai polah kader-kader dakwah yang memiliki sudut pandang unik, teguh dengan pandanganya, kemudian bergerak mantap untuk kemudian kita mengenalnya sebagai kader yang susah diatur, tidak bisa beramal jama’i atau semaunya sendiri atau gelar lain yang disematkan sebagai penghargaan atas ke-kreatifanya.

Sepanjang saya berputar bersama gerbong dakwah ini, beberapa “kawan” dekat saya merupakan kader “kreatif”. Mereka adalah orang-orang berhati mulia, dengan pemikiran yang brilian namun memiliki bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang-orang biasa (saya tidak menyebut orang biasa disini sebagai tidak kreatif). Mereka memiliki intuisi yang kerap tidak dapat ditangkap oleh radar kebanyakan kader yang lain. Atau mereka terlalu banyak membaca buku yang lain sehingga pembacaanya lebih luas, melihat lebih banyak sehingga pandangannya jauh kedepan, mendengar lebih banyak sehingga analisisnya hanya dapat didengar oleh manusia masa depan. Disisi lain, merekapun memiliki permasalahan sekali lagi pada masalah “komunikasi”. “Mereka” suatu ketika bertanya lirih “mengapa “Orang-orang” kok gak pernah mau memahami?”. Suatu ketika juga “Orang-orang” itu mengomentari “Mereka” “hidup berjamaah ini jangan Cuma dipahami!”. Adakah yang salah? Apakah memang kader kreatif itu hidup pada zaman yang salah atau tempat yang salah. Yang aku tahu beberapa dari yang saya kenal pada akhirya ditenggelamkan atau memilih tenggelam.

Kawan-kawan Lentera memberi komentar bahwa kader kreatif adalah mereka yang memberikan kontribusi kebaikan. Mereka yang memutar kreatifitasnya dalam batas-batas syar’i dan tidak melanggar konstitusi. Artinya, jika ada seorang kader yang “melawan” instruksi tetapi membawa kebaikan yang lebih besar, maka dia dikatakan sebagai kader kreatif bukan kader “nakal”. Sebaliknya, jika kemudian ijtihad pribadinya memberikan “kemudharatan”, maka dia harus memiliki jiwa kesatria jika kemudian jama’ah memberikan “sentuhan sayang” berupa teguran, hukuman dan sejenisnya.

Maka kreatifitas seorang kader adalah kreatifitas yang bertanggung jawab. Kreatifitas yang menghadirkan pelajaran-pelajaran berarti untuk langkah hidupnya atau langkah gerakannya kedepan. Kreatifitas yang membawa jama’ah ini menjadi begitu dinamis dan senantiasa waspada. Terjaga dari segala keotoriteran atau patronase kebenaran pada hal-hal yang seharusnya memiliki alternatif-alternatif pandangan. Kreatifitas yang menghidupkan kebenaran. Kreatifitas yang memberikan berkah perbedaan, bukan musibah perpecahan.

Maka menjadi kader kreatif berarti memilih berani untuk menyatakan pendapatnya dengan segala dalilnya. Berarti memilih jalan untuk siap dikucilkan. Berarti harus siap dengan jebakan riya, ujub dan sebagainya sebab pada suatu waktu ternyata pendapatmu adalah yang paling tepat justru pada saat engkau telah menerima tuduhan macam-macam.

Disinilah kemudian kita harus bertekad untuk tidak menjadi kader kere aktif. Yaitu mereka yang tidak memiliki pijakan selain karena otoritasnya yang lebih tinggi dari yang lain. Mereka yang “kere” bacaan tapi aktif memotong ide. Mereka yang “kere” data kuantitatif maupun kualitatif dalam mengambil kebijakan untuk dirinya maupun gerakannya.

Jaket Biru KAMMI

Sore itu, KAMDA lumayan hangat. Meski garis-garis lurus air membelah bumi. Diiringi senja yang tampak semakin pekat dan udara yang dingin, segelintir orang duduk asyik berdiskusi. Bukan tema politik, bukan tentang nikah, bukan tentang reformasi bukan..bukan tentang tema-tema yang biasa identik diobrolin anak KAMMI. Kali ini terjadi “perselingkuhan” tema dari yang semula akan berdiskusi tentang hukum, menjadi tentang “Jaket”. Hanya tentang jaket.

Bukan tanpa alasan, kita hanya ga ingin berdiskusi mengenai sesuatu yang kita ga ada kepahaman tentangnya. Itung-itung kita komitmen dengan gerakan intelektual profetik yang menginginkan setiap tindakan atau diskusi berdasarkan data dan fakta serta dibumbui analisis yang segar. Tapi bukan berarti kita tidak mau membahas tentang hukum, kita menyepakati akan membahasnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Malang, 22 juni 2004…J

Diskusi dimulai dengan pertanyaan iseng “boleh ga sih selain KAMMI make jaket KAMMI?” Seorang ukhti memulai diskusi dengan menyampaikan bahwa jaket KAMMI jangan dibatasi hanya untuk kader KAMMI saja. Soalnya dari pengalaman pribadi beliau, jaket KAMMI itu dah puya kharisma sendiri. Buktinya temennya kalo make jaket KAMMI itu malu kalo masih punya sikap yang gimana gitu…? Intinya dengan make jaket KAMMI, temannya merasa lebih pede and bener-bener ngerasa gimana githu…? (pemakaian “gitu” untuk menjelaskan perasaan yang ga bisa diungkapin kata-kata-red). “make jaket KAMMI tuh lebih heroik”, ungkap seorang akhwat menguatkan. Lagian kalo jaket KAMMI boleh dipakai orang yang ga pernah ikut DM, kan lumayan bisa nambah profit.

Semua sepakat? Ga juga. Beberapa menganggap jaket biru KAMMI Cuma boleh dipakai orang-orang yang udah ikut DM I dan mengkhawatirkan penyelewengan pemakaian jaket KAMMI. Dia pernah nemuin orang make jaket KAMMI buat pacaran (nah lho?). yang ga sepakat jaket KAMMI dipakai sembarang orang karena merasa jaket KAMMI itu merupakan simbol dan identitas organisasi, jadi ga boleh seenaknya dong orang lain make.

Ada yang mencoba mengambil jalan tengah, jaket KAMMI mungkin suatu saat akan menjadi bagian dari kepemilikan publik. Mungkin nanti kalo ada yang ga punya jaket KAMMI kita teriakin “ga gaul banget sih …..” (tentu tanpa anarkis, karena anarkhi bukan KAMMI). Senada dengan pendapat ini, seorang akhwat bilang jaket KAMMI bisa dipakai buat Syiar KAMMI, lumayan kan kita bisa bikin iklan berjalan tanpa bayar alias gratis. Karena jaket KAMMI banyak yang pake. Tapi bukan tanpa catatan, kita kudu selektif untuk menghindari kejadian yang ngga-ngga. Alasan penguat lainnya, kalo yang make jaket kudu DM I, gimana kalo ada yang kedinginan terus butuh jaket? Masak harus ditanya “ente dah ikut DM I belum?” wuihhhh…ga punya perikemanusiaan kan, melanggar Muqadimah UUD 45.

Diskusi kemudian bergulir seputar pertanyaan tentang dampak kebanggaan kepemilikan jaket KAMMI terhadap persatuan ummat? (hayo..nyambung ga?). Rata-rata sepakat bahwa kebanggan terhadap jaket KAMMI ga menghalangi proses persatuan dan kebangkitan ummat. Bangga dengan jaket KAMMI tidak lantas membuat orang-orangnya anti kritik dan persatuan.

Waktu nambah sore, beragam catatan seputar jaket KAMMI Biru Malang terus bertambah. Tentang boleh tidak orang lain make, tentang penyelewengan jaket KAMMI, tentang penjagaannya, tentang perasaan “gimana gihu loh” waktu make jaket KAMMI, tentang bisa ga kelusuhan jeket jadi tanda dia aktivis tulen KAMMIJ, tentang sikap pemakai jaket, tentang kebanggan yang mulai pudar, tentang kebangkitan ummat, tentang “kader jaket”, tentang persatuan, tentang cinta dan sebagainya.

Ada baiknya lemparan seorang ukhti jadi renungan penutup, kita seharusnya terus memperbaiki diri kita sendiri, sehingga secara tidak langsung jaket juga mewakili sifat shaleh orangnya. Artinya kelak orang akan mikir berkali-kali untuk bersikap “tidak layak” ketika make jaket KAMMI. Kita ga perlu bikin dewan adat aturan make dan yang lainnya, karena keshalehan diri kita sudah menjadi penjaga dari penyelewengan terhadap penggunaan jaket. Yang lain ngingetin; jangan jadi aktivis jaket, Cuma make jaketnya aja tapi ga mau peduli ama kondisi KAMMI.

Rame-rame make jaket KAMMI yuk..biar lawan gentar, biar KAMMI makin berkibar, biar mereka tahu kalo anak KAMMI itu pinter, nepatin janji, profesional, pantang “eksklusif”, anti kere aktif alias ga bergerak bin pasif. Akhirnya biarkan mereka tahu “Isyhadu bi anna muslimuun, Saksikanlah saya seorang muslim……lewat para pemakai jaket KAMMI…lewat kita…

Gimana duhai para pemilik jaket KAMMI, dipake lagi dong jaketnya, dikibarkan lagi dong ide-idenya, disemai lagi dong perhatianya sebab kita bukan; Kader Jaket apalagi Penakut (titik)

Dari rerimbun diskusi


Pangeran Surga

”Mohon do’anya seluruh ikhwah. Adik kami kecelakaan” begitu kira – kira pesan singkat yang masih ku ingat. Malam itu badan masih berjibaku dengan rasa mual. Dauroh "My Camp" yang saya adakan bersama rekan – rekan aktivis dakwah sekolah, masih menyisakan rasa letih sementara esok telah kujadwalkan menempuh perjalanan menuju Jakarta.

”Innalillahi raajiuun..sampaikan maaf ana ke Ahmad karena belum bisa jenguk. Ana masih sakit dan besok harus keJakarta. Syafakallah” setengah sadar aku membalas sms dari seorang akhwat di tanah Batam. Akhwat tersebut bernama Fitri. Ia yang menitipkan adik bungsunya.padaku. Begitu besar perhatian Fitri pada Ahmad. Terutama pada tarbiyahnya hingga beliau selalu menanyakan apakah Ahmad sudah ikut halaqoh atau belum. Dan malam itu aku terlelap. Melewatkan halaqoh yang seharusnya aku ikuti.

”Ass. Telah berpulang kpd Rahmatullah pagi ini. Adik kami Achmad Solikin di RSUD Saiful Anwar Malang. Semoga d beri ketabahan pd keluarga” sms Ukhti Fitri masih kusimpan. Tertera tanggal 5 Juli 2007, 05:14:52 sms itu dikirim. Aku masih menahan mual, menahan rasa sakit yang tersisa karena kurang adil memberi perhatian pada perut. Lirih ku untai do’a untuk Achmad. Pelajar salah satu SMK negeri di Malang yang diantarkan kakaknya untuk diikutkan dalam barisan dakwah ini.

”Ahmad anak yang baik. Dia paling pintar dikeluarga kami...” ujar ukhti Fitri dalam SMS nya. Dan aku setuju. Sangat setuju.

Hatinya yang bersih terekam dalam kenangan. Dia menempuh perjalanan dari rumahnya di sekitar Kacuk hanya untuk belajar agama. Kami Berdiskusi kecil dikamar karena waktu itu belum menemukan teman untuk membentuk forum halaqoh. Waktunya sangat padat sehingga hanya habis maghrib hingga menjelang Isya dia ada waktu luang untuk halaqoh. Pagi hingga jam 2 Achmad sekolah. Setiap hari, Dua kali dia harus memacu motornya pulang pergi. Pulang sekolah dia bekerja mengantarkan tetangganya ketempat kerja kemudian dia mengantar kakaknya ke tempat kerja.

Pada sebuah kesempatan saya mengajaknya mengikuti talaqi madah Tarbiyah yang diasuh oleh Ustadz Jalaludin di Masjid Abu Bakar, Perumahan Puncak Dieng. Pertemuan itu terjadi beberapa hari sebelum motornya menghantam pohon dan merenggut nyawanya. Dan Talaqi itulah sentuhan tarbiyah terakhir yang bisa saya hantarkan untuk Achmad Solikin, Pangeran Surga dari Kacuk..

Sepotong Lidi

Maghrib baru berlalu beberapa menit yang lalu. Disebuah kampung kecil, sekelompok remaja duduk bermusyawarah. Mereka anak – anak muda yang tergabung dalam Remaja Islam Masjid Ibadurrahman (RISMI). Memakmurkan sebuah masjid dimana saya dulu mengeja a ba ta tsa dan menyelami materi panah – panahan dari murobbi. Kini mereka telah lulus SMA. Masalah kehidupan juga menerpa mereka. Melanjutkan ke perguruan tinggi mungkin tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Mereka hanya anak kampung yang besar dari gaji buruh dan cangkul tani.

Namun sentuhan dakwah membuat mereka begitu berbeda dari teman sebayanya. Simak pembicaraan yang keluar dari anak kampung ini.

”Akhir – akhir ini sepertinya kita mengalami kemandegan. Banyak program dakwah yang tidak berjalan. Sebuah organisasi minimal ada pertemuan rutin. RISMI sudah melahirkan banyak orang dan sudah dikenal sebagai wajihah yang berdiri paling awal” ujar seorang senior yang memfasilitasi pertemuan malam ini. Dia merupakan salah seorang alumnus RISMI yang menjabat sebagai pembina dan telah menamatkan pendidikanya di UNJ.

”Kalian ibarat batang – batang lidi. Sebatang lidi tidak akan efektif untuk menyapu dan membersihkan halaman yang penuh dengan sampah. Lidi – lidi itu harus di ikat erat agar mampu menyapu segala sampah”

Pikiran para pengurus RISMI pun mulai menerawang memutar kembali hari – hari yang berlalu dengan kemandegan program kerja. Sepertinya semua tampak menyesal. Keluhan demi keluhan bersahut – sahutan dimalam itu. Keluhan yang kemudian melahirkan semangat untuk membangun kembali dakwah yang telah dirintis bertahun – tahun lamanya.

”Kini saat nya kita menyalakan lilin dan tidak mencela kegelapan” ujar yang lain. ”Pertanyaan mengapa dan kenapa tidak membuat kita bangkit. Mari kita bertanya apa yang bisa kita lakukan”.

Isya telah menjelang. Adzan berkumandang dilangit Banten. Musyawarah kecil malam itu menyalakan api semangat yang nyaris padam. Dari sebuah lentera dakwah di sebuah kampung kecil.

Dan ada banyak lentera dakwah yang perlu dinyalakan dikampung – kampung kecil lainnya. Dipulau terpencil. Di rimba belantara. Di pucuk gunung. Lalu masihkah kita berkutat dengan kelemahan – kelemahan diri? Bangkitlah. Jadilah lidi – lidi yang terikat erat.

Surga Itu Yang sulit...

Seperti biasanya, keluarga besar KAMMI terkadang berkumpul dibawah (Ruang Syuro). Koran menemani kami lesehan sambil berdiskusi banyak hal. Ada banyak inspirasi dan kesegaran yang terselip dari sekian banyak diskusi kecil yang kami lakukan sambil membaca koran.

Hari itu kami kedatangan seorang ustadz yang biasa nyambangin kami. Sebuah kebiasaan beliau yang sering menghangatkan suasana dan menjalin keakraban. Istilah saya, beliau adalah penyambung generasi. Saya menyadari banyak amanah yang harus diselesaikan oleh beliau dan generasi beliau. Karenanya jika ada beliau atau generasi beliau yang hadir nyambangin ke kontrakan mahasiswa, maka terasa sangat istimewa.

Saya menikmati koran yang terhidang. Dihalaman tersebut ada iklan rumah lengkap dengan mobil dan fasilitas lainnya. Angsuranya tersaji dengan jelas. Nilainya lumayan.

”Ustadz, kapan neh beli rumah dan mobil kayak begini” Saya berujar sambil menunjukkan iklan tersebut

”Ya akhi, itu mudah. Surga itu lho yang sulit” Ustadz menjawab santai dan saya tersenyum lebar.

Anda bisa menangkap sebagaimana yang saya tangkap waktu itu?

Surga itu lho yang sulit. Coba cermati kata – kata itu. Lalu ukur apakah kita termasuk kedalam orang kebanyakan yang resah gelisah dengan segala kesibukan duniawi. Tertipu dengan target hidup yang keliru hingga tidak sempat merasakan indahnya kehidupan. Terlebih tak sempat mencicipi lagi manisnya perjuangan dan ujian di medan ini..... tapi jangan fatalis. Kita tetap perlu dunia untuk bekal menuju kampung akhirat.. Ya Allah palingkan aku dari pengejaran yang keliru...

"Dan janganlah kamu jual perjanjian (dengan) Allah dengan harga murah, karena sesungguhnya apa yang ada disisi Allah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui"

nb. kangen antum Ustadz Uril...

Sekolah Plasma – Q

Jum’at, 20 April 2007, 21.50 WIB

Hari ini sekolah pertama anak – anak Plasma – Q. Bertepatan dengan hari lahirnya Ukhti Gita. Beberapa potong kue terhidang menemani pelajaran pertama kami disekolah ini. O ya, sebelumnya jangan membayangkan kalau sekolah ini menempati sebuah gedung, murid – murid berseragam, ada guru dan lain sebagainya layaknya sebuah sekolah. Sekolah ini hanya berupa forum diskusi kecil – kecilan untuk merefleksikan ilmu yang kami dapatkan di pendidikan formal dengan medan dakwah yang sedang kami geluti. Ruangannya menempati seluruh ruang semesta yang mampu kami jangkau.

Kali ini kami bersekolah di Salsabila. Sebuah kontrakan akhwat di belakang bangunan yang dulu terkenal dengan nama ”Dinoyo Theatre”. Esok mungkin sekolah kami ada ditepian danau, pematang sawah, taman kampus atau dimanapun selama kami terus tumbuh belajar didalamnya.

Murid – murid Plasma – Q berjumlah tujuh orang. Mereka merupakan para aktivis dakwah sekolah untuk wilayah dakwah SMA Negeri 9 Malang.

Guru kami kali ini adalah Ukhti Gita. Mahasiswa FK 2005 yang saat ini sedang berbahagia karena mendapat kesempatan untuk menambah amal – amal saat usianya berkurang satu tahun. Diskusi dibuka oleh direktur Plasma Q. Beberapa waktu berikutnya, Gita mulai mencoba mengurai tentang ilmu imunitas yang didapatnya dari perkuliahan mikrobiologi. Beberapa istilah sulit saya cerna. Sudah begitu lama saya tidak bersentuhan secara intens dengan ilmu tubuh ini. Terakhir kali mungkin waktu kelas dua SMA dulu. Jadi butuh memeras otak untuk membayangkan hipotalamus, kelenjar, hormon, sel darah merah, makrofak, plasma dan lain sebagainya. Istilah – istilah yang disampaikan Gita berseliweran begitu saja. Yang pasti, subhanallah....sangat luar biasa Allah nyiptain tubuh kita. Tidak salah kalo ada ungkapan bahwa tubuh kita sesungguhnya rangkuman semesta yang sangat hebat. Rabbana ma kholakta hadza bathila subhanaka fakina adzabannar....

Diskusi mulai terfokus pada satu istilah berjudul Respon Imunitas. Respon imunitas terbagi menjadi dua, yaitu respon imunitas non spesifik dan respon imunitas spesifik. Yang pertama merupakan respon pertamakali jika tubuh menangkap benda – benda asing sementara yang kedua merupakan respon lanjutan jika benda – benda asing itu mulai main keroyokan J.

Gita punya refleksi sendiri tentang Respon Imunitas dengan dakwah yang digelutinya. Mungkin yang lain juga.

Dalam renungan saya, respon imunitas kita dalam dakwah ada dua. Yang pertama akal dan yang kedua adalah hati. Akal merupakan respon imunitas non spesifik dimana benar dan salah dapat ditimbang oleh akal karena masih dapat ditimang dengan mudah. Tetapi ada yang tidak bisa ditimang oleh akal. Maka disinilah respon imunitas spesifik berupa hati berperan. Karenanya rasulullah pernah berpesan untuk meminta fatwa pada hati jika kita gamang dalam menimang sesuatu.

Akal dan hati. Dua alat responsifitas yang harus kita asah terus dalam mengarungi jalan dakwah ini agar senantiasa peka terhadap ”benda – benda asing” yang mungkin berbahaya bagi perjalanan kita. Benda asing yang disiratkan oleh Allah dengan harta, tahta dan manusia. Responsifitas akal harus kita asah dengan memperbanyak bacaan kita. Bukan sekedar memperbanyak tapi juga memperluasnya sehingga menjadi insan cendekia yang faqih. Mengeja fenomena alam semesta dengan membaca, meneliti, merumuskan dan sebagainya. Responsifitas hati diasah dengan berdzikir. Bermuhasabah dan bertobat. Menghindari kemaksiatan seoptimal mungkin. Harmonisasi dzikir dan fikir semoga membawa kita kepada imunitas keimanan yang prima sehingga mampu menegakkan keadilan dalam kehidupan ini.

Seiring senja yang memerah, kami sudahi sekolah kali ini. Dan saya berandai – andai, sekolah seperti ini tumbuh subur.

Wallahu’alam bi shawab

Jumat, 08 Februari 2008

Hari Tua Penguasa

Ya, dia tergolek lemah

Ya, dia tak berdaya

Ya, dia telah renta

Ya, dia meregang nyawa

Ya, dia telah berjasa

Tapi dia penindas saat berkuasa

Tapi dia pencabut nyawa tak berdosa

Tapi dia banyak dosa

Nyawa bukanlah barang murah

Kebodohan bukanlah sandiwara

Kemiskinan bukanlah dongeng

Keterjajahan bukanlah omong kosong

Dan Kau suruh aku memberi maaf

Sementara dia tak pernah memintanya

Aku hanya meminta keadilan

Jadi biarkan pengadilan menjadi kunci maafku

Dan maafku terbuka untuknya

Markas KAMMI, Januari 2008

Daun


Mereka dedaunan tak bernama

Tumbuh dalam rerimbun belukar

Tanpa riuh polusi

Atau resah mesin

Mereka merekah tenang memekar hari

Menyapa matahari yang kian meninggi

Bercanda riang menggoda sekawanan burung

Memendar kerinduan dalam pandang relung

Kau tak menemukannya dalam gemerlap

Tak juga dalam gelap

Hanya fajar yang menyingkap

Dan mata hati yang tak jua terlelap

Jaga – jaga

Kau harus terjaga

Sebab jemari liar terus menyeringai

Wagir, 5 April 2006

(Melihat dakwah bersemi di Wagir, Malang)

Kala Ku terpesona Olehnya

Dalam munajatku... Rabb

Lirih kata – kataku memanggil Mu

Luruh keningku pada mihrab Mu

Rebah jiwaku pada kasih Mu

Lelahku berlabuh dipelabuhan Mu

Cinta ini terus menderu

Mempermainkan hati yang terbolak – balik

Mempermainkan rasa yang terbolak – balik

Mempermainkan rasa hati yang terbolak – balik

Seperti ombak yang mempermainkan perahu

Rabb.. Engkau Yang Maha Indah

Telah kau hamparkan cinta yang memperindah

Membirukan langit yang bergairah

Menerangi legam malam bertabur gemintang

Mengharumkan hari dengan semerbak bunga

Rabb.. Engkau Yang Maha Gagah

Telah kau pikatkan Zulaiha dalam bayang Yusuf

Telah kau tundukkan Balqis dalam perkasa Sulaiman

Telah kau dekatkan khadijah dalam peluk Muhammad

Sungguh Engkau Maha gagah tak ada yang lebih gagah

Rabb.. Engkau Yang Maha Menjaga

Izinkan ku tetap terjaga

Agar cinta membuatku lebih dekat dengan Mu

Agar cinta membuatku lebih mulya dihadapan Mu

Agar cinta membuatku lebih tenang dalam takdir Mu

Agar cinta membuatku lebih memahami keagungan Cinta

Terima kasih Rabb atas kesempatan untuk mencintanya...

Camar Ramadhan

Sekret, 111207

Minggu, 03 Februari 2008

contoh aja

masih belajar...harap maklum.
 

blogger templates | Make Money Online